Pemberian Remisi bagi Terpidana Korupsi ( diberikan sesuai dengan persyaratan PP yaitu bagi Justice Collaborator (Pasal 34A) saja ) S...

Pemberian Remisi bagi Terpidana Korupsi

Pemberian Remisi bagi Terpidana Korupsi
(diberikan sesuai dengan persyaratan PP yaitu bagi Justice Collaborator (Pasal 34A) saja)

Sejak sistem pemidanaan yang digeser pada pengertian bahwa pengertian pemidanaan adalah jalur terakhir dalam upaya penanggulangan tindak pidana (ultimum remidium), maka remisi juga menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan. Sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, maka pemerintah memberikan pergeseran dari makna pemenjaraan menjadi pemasyarakatan. Pergeseran makna ini dimaksudkan tidak lain adalah untuk mengembalikan terpidana kepada lingkungan aslinya guna dapat hidup sebagaimana manusia pada umumnya.  Para terpidana yang keluar dari lembaga pemasyarakatan nantinya dapat terlahir kembali menjadi insan-insan pada umunya yang dapat hidup kembali di masyarakat dan bersosialisasi sebagaimana fitrahnya homo homini sosial, manusia adalah makhluk sosial. 
Sebagai upaya dalam merealisasikan hal-hal tersebut, yakni mengembalikan terpidana kepada masyarakat, maka remisi menjadi salah satu hal yang berusaha diupayakan, bukan dalam arti proses, namun bagi mereka yang dinilai telah baik dan menjadi insan yang berbeda sebelum dipidana, remisi menjadi iming-iming paling mutakhir, karena udara segar sedang menanti diujung balik jeruji yang telah lama mengekang mereka. Dalam sistem bernegara, sejatinya telah lama dikenal sistem carrot dan stick, manusia tidak hanya dikenalkan pada stick atau tongkat, tongkat disimbolkan sebagai hukuman bagi mereka yang melakukan kesalahan, namun bagi mereka yang melakukan kebaikan juga mereka dapat diberikan hadiah yang disimbolkan dengan wortel. 
Rumusan remisi dalam hukum positif di Indonesia dapat kita jumpai secara eksplisit pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Pasal 14, menyebutkan salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana. Pengurangan masa pidana sebagaimana dimaksud kemudian di atur dalam berbagai peraturan, Peraturan Pemerintah 99 Tahun 2012 yang merupakan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 jo Peraturan Pemerintah 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Di Indonesia, dikenal beberapa tindak pidana yang kemudian diklasifikasikan sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime). Tindak pidana pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya digolongkan ke dalam bentuk tindak pidana luar biasa. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik dalam ranah pemberian remisi bagi terpinda tindak pidana luar biasa, khususnya korupsi.

Definisi Remisi Bagi Koruptor
Pengertian remisi dapat kita jumpai pada Peraturan Pemerintah 99 Tahun 2012 yang merupakan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 jo Peraturan Pemerintah 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yakni pengurangan masa menjalani pidana  yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Logika Yuridis: 
Secara hukum, pemberian remisi bagi narapidana memang dibenarkan. Remisi merupakan hak narapidana. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 14 ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Namun, menurut pasal 14 ayat (2), hak tersebut tidak serta-merta dapat diberikan kepada narapidana. Ada syarat-syarat dan tata cara yang wajib dipenuhi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa hak memperoleh remisi adalah hak yang terbatas, yakni dibatasi oleh syarat dan tata cara tertentu.
UU kemudian memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur syarat dan tata cara pelaksanaannya. Dari sini lah pemerintah memperoleh kewenangan atribusi untuk mengatur perihal tersebut. Sehingga pemerintah mengeluarkan PP yang secara teknis memberikan panduan berkaitan dengan syarat dan tata cara pemberian remisi. Secara umum, remisi diberikan berdasarkan dua syarat, yakni berkelakuan baik selama di penjara dan telah menjalani hukuman minimal enam bulan. Namun, bagi terpidana korupsi, pemerintah memberlakukan ketentuan khusus. Pasal 34A PP 99/2012 mengatur bahwa remisi dapat diberikan jika terpidana bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (yang dikenal dengan istilah justice colabolator) dan telah membayar lunas denda serta uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan bagi narapidana korupsi.
Alasan Filosofis dan Sosiologis
Perlu ditekankan, narapidana bukanlah obyek, melainkan subyek yang sama dengan manusia lain, sewaktu-waktu salah dan khilaf. UU No 12/1995 bertekad memberantas faktor penyebab narapidana melakukan tindak pidana. Selain itu, tujuan pemidanaan, adalah menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya, mengembalikannya lagi ke dalam masyarakat, sehingga tercipta kehidupan yang damai, tertib, dan aman. Sama halnya dengan UU No 12/1995, tujuan PP No 99/2012 juga tak jauh beda. Ia berusaha menyadarkan narapidana dan mengembalikannya kepada masyarakat. Setiap narapidana, termasuk terpidana korupsi, dipercepat agar diterima kembali ke masyarakat. 
Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Dalam masyarakat yang sehat, label koruptor merupakan aib yang menjijikkan dan memalukan. Harga diri seorang koruptor jatuh di hadapan masyarakat. Untuk menaikkan kembali kehormatan dan nama baik yang hancur lebur, dibutuhkan usaha luar biasa dari terpidana korupsi. Pada kesempatan ini, PP No 99/ 2012 membuka jalannya dengan syarat mau bekerja sama memberantas korupsi. Ini adalah jalur bebas hambatan yang disediakan negara bagi koruptor yang mau bersihkan namanya. PP No 99/2012 jadi satu kesempatan emas bagi terpidana korupsi untuk memutar jarum pandangan publik sebab ia memberikan keuntungan ganda. Pertama, koruptor mendapat pengurangan masa pidana. Kedua, dapat mengangkat nama baiknya yang ada di dasar cacian.
Tujuan pemberian remisi adalah merupakan instrumen bagi narapidana untuk bersikap lebih baik, karena mematuhi aturan dan terutama mengakui kesalahan. Remisi adalah penuntun untuk berbuat baik, dan menjaga diri berkelakuan sesuai dengan peraturan yang ada. Dan dengan demikian tujuan dari pemenjaraan, atau kadang diartikan sebagai penjeraan, bisa tercapai. Tanpa dibebani dengan semangat dendam, semangat “tidak memaafkan”. Seakan dengan memberi remisi, kita semua ini menjadi lembek, menjadi lemah, menjadi pelupa. SEKALI LAGI, Memberi remisi tidak menunjukkan sikap kita yang lembek dan lemah pada pidana korupsi.
Permasalahannya bukanlah di apakah remisi diberikan kepada napi koruptor atau tidak, justru permasalahan adalah ketika peraturan itu dipermainkan, ketika persyaratan memperoleh remisi dijual-belikan, ketika kelonggaran dan atau keistimewaan diberikan kepada napi tertentu, ketika itulah kita menjadi lembek, kita bahkan sama jahatnya dengan yang kita nilai penjahat. Pemberian remisi sebagai hak napi tidak didasarkan pada apakah suatu kejahatan tertentu bernilai lebih jahat dari perbuatan lain, tetapi pemberian remisi dinilai berdasarkan apakah yang bersangkutan pantas dan tidak pantas berdasarkan indikator perundang-undangan.
Jika kita menganggap korupsi sebagai extra ordinary crime, itupun sudah dianut oleh PP pemberian remisi, dengan tidak hanya menyandarkkan pemberian remisi pada persyaratan dalam pasal 34, namun juga menambah indikator tertentu sebagai pembedaan bagi extra ordinary crime khususnya korupsi dalam pasal 34A. Marilah kita jernihkan pikiran kita, dengan menempatkan prinsip extra ordinary crime dari hulu sampai hilir perbuatan pidana, memang ada indikator tambahan dan persyaratan yang berbeda diberikan oleh peraturan pemerintah, tetapi jangan samapi anggapan kita, sikap kita, dan kebencian kita terhadap koruptor membuat kita berlaku tidak adil dengan MENCABUT HAK MEREKA UNTUK MENDAPATKAN REMISI. Hak tersebut juga diakui oleh Pasal 37 ayat (2) Konvensi PBB Antikorupsi (United Nation Convention Against Corruption) tahun 2003. Yang mempertimbangkan kemudahan bagi mereka yang beritikad baik bekerja sama dalam penyelidikan dan penuntutan. Agus Tjondro adalah pelajaran dan contoh hidup bagaimana nama baik dapat dikerek dari jurang olok-olok dan makian. Caranya sederhana, ia aktif turut memberikan keterangan mengenai kasus suap pemilihan pejabat BI tahun 2005. Sehingga sebagai justice colaborator harusnya yang bersangkutan tetap diberikan remisi.




0 comments: