Konstitusionalisme  (Materi Pengantar Follow Up Angkatan 8 Komunitas Pemerhati Konstitusi) Oleh: Abdul Basid Fuadi Sesungguhnya kon...

KONSTITUSIONALISME

Konstitusionalisme
 (Materi Pengantar Follow Up Angkatan 8 Komunitas Pemerhati Konstitusi)
Oleh: Abdul Basid Fuadi

Sesungguhnya konstitusionalisme adalah suatu paham yang sudah sangat tua, yang hadir sebelum lahirnya gagasan tentang konstitusi. Terbukti konstitusionalisme sudah menjadi anutan semenjak pemerintahan polis -negara kota jaman Yunani Kuno. Politeia merupakan embrio awal gagasan konstitusionalisme. Namun demikian, belum tegasnya pemisahan antara negara dan masyarakat dalam model pemerintahan negara kota Athena, yang berarti warganegara sekaligus pula menjadi pelaku-pelaku kekuasaan politik yang memegang peran dalam fungsi legislative dan pengadilan, telah mengakibatkan abu-abunya paham konstitusionalisme Yunani Kuno. Keharusan untuk berpartisipasi langsung dalam proses bernegara, mengakibatkan perihal yang sifatnya publik dan yang privat berjalan berkelindan.
Kekaburan antara negara dan masyarakat dalam demokrasi murni memicu tidak simpatinya Plato dan Aristoteles terhadap demokrasi. Menurut Aristoteles, suatu negara yang menerapkan demokrasi murni, dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan suara terbanyak, dan kekuasaan menggantikan hukum, telah berpotensi melahirkan para pemimpin penghasut rakyat, yang menyebabkan demokrasi tergelincir menjadi despotisme.
Berangkat dari kritik Aristoteles itulah, pada masa Romawi Kuno, lahir gagasan tentang arti penting sebuah konstitusi. Konstitusi diharapkan dapat mencerminkan dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan dari semua golongan politik menjadi suatu harapan. Pada periode Romawi Kuno konstitusi mulai dipahami sebagai suatu kekuatan di atas negara, konstitusi dimaknai sebagai suatu aturan yang menjadi pedoman bagi bangunan kenegaraan, yang hendak didirikan berdasar pada prinsip the higher law—konstitusi.
Sejarah kekhalifahan Islam juga dapat dirujuk dalam pembahasan konstitusionalisme sebagaimana terungkap dalam Piagam Madinah. Menurut Jimly, piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern adalah Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad saw dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yasrib -nama kota Madinah sebelumnya, pada tahun 622M.
Sederhananya konstitusionalisme dihadirkan dengan tujuan untuk menjaga berjalannya pemerintahan secara tertib. Hal ini seperti diutarakan Walton H. Hamilton, bahwa constitutionalism is the name given to the trust which men respose in the power of words engrossed on parchment to keep a government in order. Senada dengan adagium Lord Acton, powers tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely -manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula-. Karena itu kekuasaan harus dibatasi oleh konstitusi—the limited state.
Meskipun telah tua usianya, akan tetapi konstitusionalisme masih menjadi satu paham yang paling efektif untuk mengelola kekuasaan pada masa modern saat ini. Seperti dikatakan pemikir politik kontemporer Gabriel A. Almond, yang menyatakan bahwa bentuk pemerintahan terbaik yang bisa diwujudkan adalah pemerintahan campuran atau pemerintahan konstitusional, yang membatasi kebebasan dengan aturan hukum dan juga membatasi kedaulatan rakyat dengan institusi-institusi negara yang menghasilkan ketertiban dan stabilitas.
Dalam konsepnya yang lebih kongkrit, ‘kontrak sosial’ adalah suatu proses perjanjian dan kesepakatan yang melahirkan apa yang disebut ‘konstitusi’. Adapun yang disebut ‘konstitusi’ dalam konsepnya “yang modern” ini ialah tatanan yang menjadi bangunan dasar suatu organisasi negara, yang berfungsi sebagai rujukan normatif –yang akan memberikan dasar pembenar, baik secara moral maupun secara legal kepada— segala aktivitas para pejabat pengemban kekuasaan negara. Suatu konstitusi menetapkan batas-batas kewenangan setiap institusi dan mengatur hubungan kewenangan antara lembaga-lembaga negara, seperti antara lain antara badan legislatif, badan eksekutif dan badan yudisial.
Batas-batas kewenangan yang dinyatakan secara normatif dalam dan oleh konstitusi itu sesungguhnya tak hanya dimaksudkan untuk menyeimbangkan besaran kekuasaan masing-masing lembaga negara terhadap sesamanya, akan tetapi juga untuk menegaskan batas-batas kewenangan lembaga-lembaga negara tersebut di hadapan hak kebebasan warganegara. Demikianlah ajarannya, bahwa apabila lembaga-lembaga negara itu – baik terhadap sesamanya maupun di hadapan hak warganegara – pada asasnya terbatas, sedangkan hak-hak konstitusional warganegara (yang dinalar sebagai bagian dari hak kodrati) pada asasnya tidak terbatas. Pembatasan, apabila diperlukan hanya bisa dilakukan berdasarkan kesepakatan para warganegara sendiri, lewat suatu proses ysng mestilah dilaksanakan dalam suasana yang bebas. Inilah asas atau ajaran atau paham ideologik yang disebut konstitusionalisme.
Demikian itulah nalar paham konstitusionalisme dalam kajian hukum positif, bahwa sekalipun menurut kodrat alaminya setiap individu manusia itu dilahirkan sebagai makhluk yang berkebebasan penuh (on nee libre, kata Rousseau) tetapi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu manusia itu terikat di mana-mana (mais ils sont dans suffrage partout, kata Rousseau pula), dengan catatan bahwa keterikatan itu datangnya dari manusia yang menurut kodratnya pula bisa berkehendak bebas itu. Dari rasionalitas seperti ini, dapatlah dinyatakan bahwa kebebasan manusia, juga untuk mengikatkan diri, itulah yang menentukan besar-kecilnya keterikatannya itu. Dengan perkataan lain, keterikatan itulah yang merupakan fungsi kebebasan, dan bukan sebaliknya.





0 comments: