Kilas Singkat Seputar Administrative Penal Law Sebagai sebuah negara, Indonesia telah mendeklarasikan diri sebagai negara hukum, konsek...

Kilas Singkat Seputar Administrative Penal Law

Kilas Singkat Seputar Administrative Penal Law

Sebagai sebuah negara, Indonesia telah mendeklarasikan diri sebagai negara hukum, konsekuensi dari prinsip negara hukum menghendaki kehidupan kenegaraan dan masyarakat diatur oleh dan diorientasikan pada hukum. Namun demikian, dalam dinamika kehidupan bermasayarakat, ada kalanya ketertiban dan keamanan terganggu oleh tindakan dari sebagian anggota masyarakat itu sendiri. Gangguan tersebut tentu saja memiliki banyak dimensi, yang tentu saja berpotensi menimbulkan perasaan tidak aman dan ketakutan dalam masyarakat.
Dalam kerangka operasionalisasi dari konsep negara hukum, negara memiliki peran yang sangat strategis untuk membuat peraturan-peraturan dan kebijakan dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban, dan perlindungan hukum warga negaranya. Dalam perkembangan ilmu hukum dikenal dua dimensi hukum, yaitu dimensi hukum public (hukum tata negara, hukum tata pemerintahan atau administrasi, hukum pidana dan terakhir muncul hukum internasional) dan dimensi hukum privat (dintaranya perdata dan dagang).
Dalam perkembangan selanjutnya, hukum administrasi dan hukum pidana mengalami perkembangan yang luas. Meluasnya kedua hukum publik tersebut menimbulkan irisan yang oleh Prof. Indriyanto Seno Adji disebut sebagai “grey area”. Bagian inilah yang kemudian memunculkan konsep Administrative Penal Law (Hukum Pidana Administrasi). Namun hal ini juga menimbulkan kegamangan dikarenakan belum adanya batasan yang tegas diantara keduanya. “Administrative Penal Law” yang merupakan produk legislasi berupa perundang-undangan dalam lingkup Administrasi Negara yang memiliki sanksi pidana. Sebagai sesama bagian dari hukum publik, baik Hukum Pidana dan HAN memiliki kesamaan asas, diantaranya asas legalitas. Asas ini menjadi dasar masyarakat dan pemerintah melakukan tindakan hukum. Perluasan yang terjadi diantara keduanya sebagai upaya adaptasi dengan perkembangan masyarakat tentunya juga memiliki dampak satu sama lain dan jika hal ini tidak dibicarakan secara mendalam maka akan timbul “grey area” diantara keduanya. Hal ini salah satunya karena keistimewaan hukum pidana yang kaidahnya ada di bagian hukum lain, dan sanksinya bisa diterapkan di hampir semua cabang ilmu hukum.
Black’s Law Dictionary menggunakan istilah administrative crime sebagai padanan kata tindak pidana administrasi, yang  diartikan: “An offense consisting of a violation of an administrative rule or regulation that carries with a criminal sanction”. Hukum pidana administrasi merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan/melaksanakan hukum administrasi. Jadi merupakan fungsionalisasi/operasionalisasi/instrumentalisasi hukum pidana di bidang hukum administrasi. Pendefinisian tindak pidana administrasi sebagai pendayagunaan hukum pidana untuk menegakkan hukum administrasi membawa hukum pidana hanya dapat diterapkan pada suatu peristiwa tertentu tergantung apakah peristiwa tersebut tergolong perbuatan melawan hukum dalam hukum administrasi atau tidak.
Pendefinisian di atas membawa konsekuensi dilematis dalam dua pandangan. Pertama,  yaitu bahwa hukum pidana merupakan ultimum remidium atau upaya terakhir dalam penegakan hukum setelah diberikan peluang penyelesaian hukum lewat cabang hukum lain, misalkan hukum administrasi, perdata, dll. Kedua, yang mengorientasikan kepada pendayagunaan hukum pidana untuk tercapainya tujuan publik dari hukum pidana menyatakan bahwa setelah adanya penegakan hukum administrasi (sanksi administratif) pada suatu tindak pidana administrasi tidak menghilangkan sanksi pidana atas perbuatan tersebut.
Berkaitan dengan masalah perbuatan pidana atau tindak pidana, dikenal adanya istilah mala in se yaitu suatu perbuatan yang salah dan immoral pada dirinya dan mala prohibita yaitu hal-hal yang dilarang undang-undang sebagai pelanggaran hak orang lain hanya karena hal-hal tersebut dilarang atau melanggar peraturan yang dibuat pemerintah untuk melindungi kepentingan umum. Yang terakhir ini menunjukkan kemungkinan bergesernya pandangan tradisional hukum pidana tentang unsur kebejatan moral.
Dalam pidana administratif lebih banyak menggunakan delik formil dibandingkan delik materil, hal ini dirujuk dari tindak pidana yang diatur adalah tindak pidana yang terkait dengan perbuatan seseorang yang melakukan kegiatan tanpa izin, tanpa wewenang, tanpa pemberitahuan atau tindakan yang melampaui wewenang meskipun belum atau tidak menimbulkan akibat atau kerugian pada kepentingan publik. Namun, dalam mengkategorikan suatu tindakan sebagai tindak pidana harus dapat ditentukan apakah tindakan tersebut bersifat melawan hukum atau tidak.
Dalam konsep sifat melawan hukum,  dikenal dua sifat perbuatan melawan hukum, yaitu melawan hukum yang secara spesifik dilarang dalam perundang-undangan (onwetmatigedaad) dan di sisi lain ada perbuatan melawan hukum yang lebih luas yaitu yang mencakup juga perbuatan yang bertentangan dengan normanorma masyarakat yang berada di luar peraturan perundang-undangan (onrechtmatigedaad).
Berkaitan dengan pidana administrasi, sifat melawan hukum yang dikonstruksi lewat pasal-pasal tersebut adalah sifat melawan hukum tertulis atau onwetmatighedaad yang dalam hukum pidana lebih spesifik disebut dengan istilah wederrechtelijkheid. Hal itu dikarenakan pasal-pasal tersebut tidak memberi peluang kondisi di mana terlanggarnya norma-norma kehidupan kemasyarakatan sebagai objek yang dapat dipidana (melawan hukum). Apalagi pendukung ketertutupan sifat melawan hukum itu diikat oleh aspek administratif sebagai salah satu unsur melawan hukum (wederrechtelijkheid), seperti tanpa izin, tanpa pemberitahuan, tanpa wewenang atau melampaui wewenang yang diberikan lewat prosedur administratif. Sehingga untuk memasukkan suatu perbuatan sebagai perbuatan tindak pidana administrasi haruslah didahului atau dibarengi dengan pelaksanaan prosedur, penegakan atau pengujian administratif terlebih dahulu.
Perkembangan mutakhir menunjukkan kecenderungan untuk selalu menggunakan ancaman pidana dalam setiap undang-undang (meskipun berdimensi administrasi), hal ini tentu menggeser filosofi dan paradigma subsidiaritas dalam hukum pidana yang menggeser prinsip ancaman pidana sebagai ultimum remidium menjadi primum remidium, apalagi dikuatkan dengan berkembangnya pandangan yang menganggap tidak hilangnya sanksi pidana meskipun hukuman administratif dilakukan. Dilain sisi, penggunaan sifat melawan hukum formil dalam pidana administrasi menimbulkan beban tersendiri dalam masyarakat dan komunitas lokal (karena adresatnya adalah “setiap orang” tidak hanya aparatu pemerintahan), terutama banyak dijumpai dalam kriminalisasi komunitas lokal dan masyarakat adat dalam kaitannya dengan UU Kehutanan, dan lain-lain.
Terakhir, sebagai kilas singkat tentu tulisan ini belum mampu mengahadirkan suatu penjelasan yang komprehensif mengenai hukum pidana administratif. Pengkajian lebih lanjut tentu sangat diharapkan dengan analisa yang lebih kritis dan konstruktif. 

Yogyakarta, 23 November 2016


0 comments: