CRITICAL BOOK REVIEW Filsafat dan Syariat Pandangan Ibnu Rushd Diajukan Guna Memenuhi Tugas dalam Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pengampu:...

Filsafat dan Syariat Pandangan Ibnu Rushd

CRITICAL BOOK REVIEW

Filsafat dan Syariat Pandangan Ibnu Rushd

Diajukan Guna Memenuhi Tugas dalam Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Pengampu: Bapak Saifuddin, S.HI, MA.

A.   Pendahuluan

Berfikir, merupakan salah satu aspek yang penting didalam menemukan ilmu pengetahuan. Berfikir adalah berfilsafat, berfikir juga menunjukkkan bahwa kita 'ada'. Didalam Islam sendiri, banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berfikir. Berfilsafat adalah bagian dari kehidupan manusia, disetiap peradaban yang dikenal dunia pasti memiliki filsafatnya masing-masing. Begitupun juga dalam islam, pada waktu dulu di dunia Islam banyak para filosof yang mempergunakan akalnya dengan kerangka berfikir filsafat ini, sehingga bisa menghasilkan berbagai karya hebat didalam ilmu pengetahuan.
Meskipun demikian, banyak juga pemikir islam yang berpendapat bahwa filsafat adalah sesuatu yang terpisah dari syariat. Bahkan pemikiran inipun juga melanda masyarakat dan umat islam, terbukti dengan maraknya dikotomi ilmu agama (syariat) dan ilmu umum dalam hal ini filsafat. Dalam kondisi masyarakat yang seperti itulah Ibnu Rusyd menulis buku yang berusaha mengharmonisikan antara syariat dengan hikmah (filsafat) dengan judul Fasl al Maqal wa Taqrir ma bainal Shariaty wal Hikmati min al Ittisal yang diterjemahkan George F. Hourani dengan judul Averroes On The Harmony of Religion and Philosophy.
Tulisan sederhana ini bertujuan untuk mereview pemikiran Ibnu Rushd mengenai implikasi dari apa yang dia sebut Risk Society terhadap pemetaan dan masa depan ilmu politik dan pemerintahan serta sedikit memberi ‘catatan’ terhadap pemikirannya.

B.   Pokok-Pokok Pemikiran

Dalam tulisannya yang diterjemahkan George F. Hourani dengan judul Averroes On The Harmony of Religion and Philosophy khususnya pada bab1 , Ibnu Rushd menjelaskan pandangannnya mengenai wajibnya mempelajari filsafat dalam islam dan menjelaskan penolakan terhadap pemikiran Ghazali yang mengaharamkan filsafat.
Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib.[1] Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan, maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya.
Menurut pemikiran Ibnu Rusyd tidak mungkin seseorang yang berfilsafat akan meragukan kebenaran atau keberadaan Tuhan. Jika hal itu terjadi adalah karena dalam mencapai kebenaran setidaknya manusia mempunyai 3 dasar penilaian, yaitu : (1) Lewat metode al- Khatabiyyah (Retorika) (2) lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika) (3)Lewat metode al-Burhaniyyah (demonstratif).[2]
Pertama, Metode Retorika digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil, yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi)
Kedua, Metode Dialektika dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik.
Ketiga, Metode Demonstratif dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Ta’wil yang dilakukan dengan metode Burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran.
Masih menurut Ibnu Rusyd, pemahaman terbaik terhadap agama harus dilakukan dengan cara terbaik pula yaitu metode demonstratif. Bahkan untuk mengetahui pemahaman tentang syariat seorang mujtahid harus terlebih dahulu memahami logika, sama seperti seorang ahli hukum harus memehami pertimbangan hukum.
Pendekatan demonstratif diyakini Ibn rusyd bisa mendamaikan antara bunyi literal teks yang transenden dengan pemikiran spekulatif – rasionalistik manusia. Al-Qur’an kadang berdiam diri tentang suatu obyek pengetahuan. Lantas ulama melakukan Metode (syar’iy) untuk menjelaskan kedudukan obyek pemikiran yang maskut ‘anhu tersebut. Demikian pula dengan nalar Burhani, ia merpakan metode ta’wil / metode untuk membincangkan persoalan-persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh al qur’an.
Ibn Rusyd beranggapan bahwa teks syar’iy memiliki keterbatasan makna. Oleh karena itu jika terjadi ta’arudl dengan metode burhani, maka harus dilakukan ta’wil atas makna lahiriyyah teks. Ta’wil sendiri didefinisikan sebagai: makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa arab dalam membuat majaz. Misalnya dengan menyebutkan “sesuatu” dengan sebutan “tertentu lainnya” karena adanya faktor kemiripan , menjadi sebab / akibatnya, menjadi bandingannya atau faktor-faktor lain yang mungkin bisa dikenakan terhadap obyek yang awal.
Ibnu Rusyd dalam tulisannya juga mampu menunjukkan bahwa dalam al-Qur'an ada dalil-dali yang menjelaskan tentang filsafat, diakhir tulisannya Ibnu Rusyd mengutip Al-Qur'an surat An-Nahl ayat 125 "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."

C.   Analisa dan Kritik

Walaupun disebut sebagai pandangan yang klasik, namun bagaimanapun juga relasi filsafat dan agama masih menjadi hal yang patut dipikirkan hingga saat ini. Apalagi jika kita memahami kondisi masyarakat sekarang ini, ada yang sangat kuat memahami superioritas agama yang sering disebut radikalisme, bahkan yang menjauhkan diri sama sekali dari agama yang dipahami sebagai sekulerisme.
 Lahirnya filsafat di Dunia Islam memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu kalam yang mendahuluinya. Sebelumnya, para mutakallimin memang telah menggunakan mantiq (logika) dalam tradisi kalam mereka, baik untuk membantah maupun menyusun argumentasi.
Agar memperoleh kebenaran dari hasil pemikiran, Ibn Rusyd mensyaratkan kebenaran harus diperoleh melalui metode aqly. Ada tiga jenis metode aqly yang disampaikan Ibn Rusyd yaitu metode khitabi (penalaran retoris), metode jadali (penalaran dialektika), dan metode burhani (penalaran demonstratif). Menurut Ibn Rusyd, cara yang terbaik untuk melakukannya adalah dengan metode penalaran demonstratif. Melalui penalaran demonstratif ini, hal yang tidak nampak menjadi nampak. Ketika orang awam dan para mutakalimin hanya melihat makna yang tampak dari wahyu, para filosof mampu mengungkap makna yang tak tampak dengan penalaran demonstratif ini.
Ibn Rusyd menolak jika dikatakan qiyas aqly ini bid’ah, sebab qiyas fiqhy sendiri tidak dikenal pada masa awal Islam. Karena itu menurut Ibn Rusyd, menggunakan qiyas aqly dalam filsafat sama saja seperti ahli fiqih yang harus menggunakan qiyas fiqhy dalam masalah hukum. Melarang filsafat dengan alasan berbahaya bagi aqidah adalah tindakan yang tidak tepat. Bahaya filsafat sama saja dengan bahaya makan obat, meminum air atau belajar fiqih yang kadang-kadang salah sehingga akibat berbahaya. Dari sisi ini, Ibn Rusyd menekankan bahwa setiap muslim memiliki kapasitas yang berbeda dalam penalaran. Hanya sedikit orang yang mampu melakukan penalaran demonstratif, yaitu orang-orang yang terpelajar. Mayoritas pula yang tidak sanggup sehingga cukup dengan penalaran dialektis atau retoris saja.
Anggapan Ibn Rusyd bahwa qiyas fiqhy tidak dikenal pada masa awal Islam sebenarnya tidak tepat. Memang qiyas fiqhy baru dirumuskan ketika jaman Imam Syafi'i, namun qiyas sebenarnya sudah dicontohkan sejak jaman awal Islam. Rasulullah telah mencontohkan penggunaan qiyas kepada para sahabat. Ada banyak contoh untuk masalah ini.
 Suatu ketika Nabi saw pernah ditanya seorang, "Ya Rasulullah, ibuku sudah meninggal dalam kondisi memiliki hutang puasa. Bolehkan aku berpuasa untuknya?" Beliau berkata, "Bagaimana jika ibumu memiliki hutang, apakah engkau akan membayarkannya?! Bayarkanlah (hutang tersebut) sebab Allah lebih berhak untuk dibayar." (HR Muslim).
 Pada hadits ini menurut al-Beirawi, nabi mencontohkan bagaimana mengambil analogi antara hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Keduanya memiliki ‘illah yang sama yaitu keberadaan hutang haruslah dibayar.[3]
Salah satu yang pokok dalam kitab Fashlul maqal-nya Ibnu Rusyd adalah adalah upaya Ibn Rusyd mendamaikan kontradiksi antara filsafat dan wahyu. Menurut Ibn Rusyd, tidak ada pertentangan antara hasil penalaran demonstratif dengan wahyu. Kalau pun ada pertentangan, maka yang bertentangan sebenarnya adalah makna yang tampak dari wahyu. Karena itu, wahyu harus dianggap disampaikan dalam bentuk majazi sehingga harus dita’wilkan dari makna aslinya.
Terhadap metode penalaran demonstratif ini perlu diajukan pertanyaan kritis kepada Ibnu Rusyd. Pertama, apakah penalaran demonstratif itu benar-benar menghasilkan kepastian sehingga bila antara produk penalarannya dan wahyu ada pertentangan maka wahyu-lah yang harus mengalah untuk dita’wilkan? Pertanyaan berikutnya bila sebenarnya hasil penalaran demonstratif itu sendiri sebenarnya masih spekulatif, tepatkah menjadikannya sebagai sandaran bagi pena’wilan Alquran?
Pada kitab Mukaddimah, Ibn Khaldun membahas secara khusus permasalahan filsafat ini dalam satu bab yang berjudul “Membantah Filsafat dan Kesesatan Orang yang Menekuninya”. Menurut Ibn Khaldun, mencukupkan diri membahas realitas hanya dengan penalaran saja sebenarnya merupakan pembatasan ciptaan Allah. Ibn Khaldun menambahkan bahwa realitas lebih luas jangkauannya dari pembatasan-pembatasan tersebut.[4]

D.   Penutup

Ibnu Rusyd adalah seorang pemikir yang berupaya melakukan berbagai usaha pembelaanya terhadap  filsafat dengan menyatakan bahwa antara filsafat dan syariat tidaklah bertentangan. Terhadap filsafat Aristoteles, ia berupaya untuk memberikan pemahaman yang lebih obyektif terhadap filsafat Aristoteles, karena jika dipahami lebih lanjut, filsafat Aristoteles tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Didalam melihat pemikiran seseorang jangan sampai kita langsung menghakimi bahwa pemikiran itu salah atau benar. Tetapi di usahakan ditelaah dan di cermati terlebih dahulu, mungkin saja disana ada kebaikan atau pintu ilmu pengetahuan yang akan tersibak.
Seperti yang kita ketahui bahwa pemikiran Ibnu Rusyd menurut sebagian orang  pada waktu itu di anggap sesat dan kafir, padahal dalam sebagian pemikirannya bisa kita temukan jalan menuju ilmu pengetahuan.
pandangan Ibnu Rusyd yang menonjol adalah teorinya tentang harmoni (perpaduan) agama dan filsafat (al-ittishâl baina al-syarî`ah wa al-hikmah). Ibn Rushd memberikan kesimpulan bahwa “filsafat adalah saudara sekandung dan sesusuan agama”. Dengan kata lain, tak ada pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat dan agama; para nabi dan Aristoteles, karena mereka semua datang dari asal yang sama. Ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan karakter filsafat sebagai ilmu yang dapat mengantarkan manusia kepada “pengetahuan yang lebih sempurna” (at-tâmm al-ma`rifah).  Dan gagasan ini dapat menjadi khazanah pemikiran filsafat islam yang lebih ramah terhadap pertentangan syariat dan filsafat.



DAFTAR PUSTAKA



Hourani, George F., Averroes On The Harmony of Religion and Philosophy, London : MESSRS. LUZAC & CO, 1967
al-Beirawi, Abu Ismael, Understanding Usul Al-Fiqh, New Delhi: Revival Publications, 2007
Khaldun, Ibn, Muqaddimah, terj. Masturi irham et.al, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2011



[1] George F. Hourani, Averroes On The Harmony of Religion and Philosophy (London : MESSRS. LUZAC & CO.) hlm 4.
[2] George F. Hourani, Averroes On The Harmony of Religion and Philosophy (London : MESSRS. LUZAC & CO.) hlm 4.
[3] Abu Ismael al-Beirawi, Understanding Usul Al-Fiqh, (New Delhi: Revival Publications, 2007) hlm 87
[4] Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Masturi irham et.al, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2011) hlm 959.


1 comment: