Menyoal
Sudut Pandang: Usaha Pembebasan dari Kekacauan Pendekatan Liniaritas (Aliran
Positivistik) dalam Kajian Ilmu Hukum.
Abdul Basid Fuadi
[Sekretaris Umum Center for Indonesia Constitution Analysis
(Constan)]
Studi hukum di
Indonesia bisa diibaratkan seperti penari randai, terlihat bergerak tetapi
sesungguhnya berjalan ditempat. Hal ini disebabkan oleh dominannya paradigma
positivis dalam kajian terhadap hukum di Indonesia. Dalam paradigma positivis,
para pelaku hukum menempatkan diri mereka dengan cara berpikir dan pemahaman
hukum secara legalistik berbasis peraturan (rule
bound) yang memisahkan antara Das
Sollen dengan Das Sein sehingga
tidak akan mampu menangkap kebenaran yang hakiki.
Dalam paradigma
ilmu hukum yang legalistis positivistis, hukum sebagai suatu struktur pranata
yang sangat kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier,
mekanistik dan deterministik. Hal ini utamaya disebabkan karena teleskop yang
digunakan untuk melihat hukum murni dari peraturan perundang-undangan. Tidak ada
hukum melainkan bersumber dari undang-undang, sehingga hukum bebas dari
anasir-nasir moral (non yuridis) dalam masyarakat.
Pengaruh warisan
sistem Eropa Kontinental telah menyebabkan hukum Indonesia tumbuh dan
berkembang dalam alam positivisme. Positivisme yang membuat norma selalu
mengkristal di ranah Das Sollen tidak
dapat menyesuaikan Das Sein yang
selalu mengikuti dinamika perubahan sosial kemasayarakatan. Maka, semakin kita
mempelajari keteraturan (hukum), justru kita semakin menemukan ketidakteraturan
(teaching order finding disorder).[1]
Maka kita perlu mencari, merumuskan, mengkonsepkan sesuatu yang lebih cair,
atau sesuatu yang dapat mencairkan kebekuan dalam kajian-kajian ilmu hukum.
Gambaran corak
hukum yang berlaku di Indonesia sangat dipengaruhi karakteristik positivisme
hukum yang dianggap sebagai corak hukum modren, sehingga hukum Indonesia tidak
lagi menyatu dengan masyarakatnya. Hukum tidak lagi menjadi insitusi yang utuh,
yang sesekali ketidakutuhan itu dibuktikan oleh ketidakpuasan terhadap cara
hukum menyelasaikan persoalan. Rujukan positivisme menempatkan peraturan
perundang-undangan sebagai sesuatu yang memuat hukum secara lengkap sehingga
tugas hakim tinggal menerapkan ketentuan undang-undang secara mekanis dan
linear untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat, sesuai bunyi undang-undang.
Paradigma yang
dikembangkan para Kelsenian, yang menghendaki hukum bebas dari anasir-anasir
non hukum dengan doktrin “The pure theory of law” nyata-nyata telah
mengalienasi hukum dari masyarakatnya. Purifikasi yang digaungkan sesungguhnya
adalah pereduksian ilmu hukum menjadi
hanya mempelajari “command of lawgivers”. Akibatnya,
penegakan hukum mengalami kesulitan untuk melakukan terobosan hukum,
terkerangkeng pada dogmatika, prosedur dan formalisme. Ilmu
hukum kemudian memaksakan untuk bekerja sendiri, menutup pintu dari disiplin
ilmu lain, menyebabkan semakin menyempitnya ruang kajian ilmu hukum, bahkan
stagnasi (tidak berkembangnya) ilmu hukum itu sendiri.
Jika ditelusuri
pada asalnya, Positivisme adalah teori yang bertujuan
untuk penyusunan fakta-fakta yang teramati. Sehingga, ”positif” sama dengan
”faktual”, atau apa yang berdasarkan fakta-fakta. Positivisme hendak menegaskan
bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta.[2] Sebagai suatu paradigma,
filsafat positivisme sebenarnya meminjam pandangan, metode, dan teknik Ilmu
Alam dalam memahami realitas (saintisme). Hal demikian
dimaksudkan untuk membebaskan ilmu pengetahuan (termasuk ilmu sosial) dari
kepentingan subyektif demi tercapainya obyektifitas dan kepastian yang terukur.
Secara
epistemologis, mazhab positivisme hukum lahir sebagai kritik terhadap mazhab
hukum alam (hukum kodrat). Mazhab positivisme hukum menolak mazhab hukum kodrat
yang terlampau idealistik. Hukum Kodrat dengan segala variannya yang
menempatkan ontologi hukum pada tataran yang sangat abstrak, ditolak karena
dinilai tidak konkrit. Kelemahan Hukum Kodrat adalah gagal mengembangkan suatu
metode untuk menetapkan apa yang menjadi kodrat manusia dan apa ciri-ciri
hakikinya. Setiap filosof mempunyai pandangan sendiri tentang moral, keadilan, dan
sebagainya. Sehingga, menurut kritik Positivisme Hukum, paham Hukum Kodrat
bersifat ambigu dan gagal memberikan kepastian hukum yang obyektif.[3] Namun sayangnya, klaim
aliran positivistik yang menganggap positivisme hukum sebagai aliran paling
akhir dan paling mutlak dari ilmu hukum, mengantarkan meraka pada ketertutupan
terhadap kritk dari luar, yang makin menjauhkan mereka dari epistemologi
filsafat kritis semula.
Kritik
terhadap positivisme hukum itu sudah banyak dimulai, F. Carl Von Savigny dengan
Mazhab sejarah hukum menyerang mazhab Positivisme Hukum dengan mengatakan bahwa
hukum bukan hanya yang dikeluarkan oleh penguasa dalam bentuk undang-undang
namun hukum adalah jiwa bangsa (volkgeist) dan substansinya adalah
aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat.[4]
mazhab
Sociological Jurisprudence mencoba mengambil ”jalan tengah” dengan
mensintesakan basis argumentasi yang berkembang pada kedua mazhab itu. Eugen
Ehrlich menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat (the centre of gravity of legal developoment is not in legislation, nor in juristic, nor in judicial decision, but in society).[5] Rumusan tersebut menunjukan kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum dengan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum.[6]
Ehrlich menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat (the centre of gravity of legal developoment is not in legislation, nor in juristic, nor in judicial decision, but in society).[5] Rumusan tersebut menunjukan kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum dengan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum.[6]
Berikutnya
yang menunjukan sikap penolakan terhadap asumsi-asumsi dasar Positivisme Hukum
adalah Realisme Hukum (legal realism).
Kendati mazhab Realisme Hukum ini menekankan hukum pada hal-hal praktis
dibandingkan teoritik, namun mazhab ini mempunyai pandangan-pandangan
konseptual yang mengkritik basis argumentasi Positivisme Hukum. Ungkapan
terkenal tokoh mazhab Realisme Hukum, Oliver Wendell Holmes,”...the life of the law has not been logic. It has been experience”.[7] Ajaran Hukum Bebas (Freirechtslehre) memperkuat sentimen
ini dengan menyatakan ”logika hukum” (legal logic) tidak memadai untuk
menghasilkan keputusan-keputusan yang bisa dipraktikkan (practicable). Hakim
menurut Hukum Bebas, tidak hanya sering terpaksa melampaui hukum undang-undang,
melainkan juga harus melampauinya.[8]
Dari
kritik-kritik tersebut setidaknya kita mampu mengkonsepsikan kekurangan-kekurangan
mazhab positivisme hukum, Pertama, Ilmu hukum bercorak dogmatis yang berpegang teguh pada sistem
hukum positif memerlukan kepastian agar suatu aturan dapat ditegakkan segera
setelah norma hukum tersebut dinyatakan berlaku. Permasalahannya,
seringkali terjadi ketegangan antara kepastian dan keadilan, aliran yang
mengunggulkan
kepastian menghendaki penafsiran tidak keluar dari lingkaran teks hukum. Metode-metode penafsiran yang diciptakan dan kemudian diterima adalah penafsiran gramatikal, otentik, dan sistematis. Sedangkan, yang mengutamakan keadilan, apabila dihadapkan dengan teks hukum yang tidak adil, ia akan berusaha menafsirkan hukum untuk memberikan keadilan. Berhenti pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan bisa menimbulkan kekeliruan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu menjadi terlupakan. Disinilah peran hukum inklusif dengan asumsi dasar berpikir non liner mampu menjawab keadaan tersebut, pemaknaan terhadap kaidah yang sarat nilai mutlak diperlukan dalam upaya mendekatkan hukum pada keadilan. Konstektualisasi tersebut hanya dapat dilakukan jika hukum mampu menerima pandangan-pandangan diluar dirinya yang bersifat non linear.
kepastian menghendaki penafsiran tidak keluar dari lingkaran teks hukum. Metode-metode penafsiran yang diciptakan dan kemudian diterima adalah penafsiran gramatikal, otentik, dan sistematis. Sedangkan, yang mengutamakan keadilan, apabila dihadapkan dengan teks hukum yang tidak adil, ia akan berusaha menafsirkan hukum untuk memberikan keadilan. Berhenti pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan bisa menimbulkan kekeliruan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu menjadi terlupakan. Disinilah peran hukum inklusif dengan asumsi dasar berpikir non liner mampu menjawab keadaan tersebut, pemaknaan terhadap kaidah yang sarat nilai mutlak diperlukan dalam upaya mendekatkan hukum pada keadilan. Konstektualisasi tersebut hanya dapat dilakukan jika hukum mampu menerima pandangan-pandangan diluar dirinya yang bersifat non linear.
Kedua, terjadi reduksi terhadap objek
telaah ilmu hukum dogmatis hanya berupa norma-norma positif dalam sistem hukum
positif, yang lebih khusus lagi adalah sistem perundang-undangan. Reduksi ini
mengandung bahaya karena jika dibalik, maka pemahaman terhadap bagian-bagian
kecil itu tidak serta merta menghasilkan pemahaman yang utuh tentang hukum.
Jika disadari lebih jauh, cara pandang yang linier dan mekanis ini memiskinkan ’daya
nalar’ ilmuwan hukum di Indonesia. memasungkan paradigma praktik hukum kepada
satu pendekatan aliran pemikiran tertentu, tidak sejalan dengan sifat hukum
sebagai ilmu praktis, normologis, otoritatif. Dominasi paradigma Positivisme
Hukum seperti asas-asas dan logika-logika yang dipraktikan selama ini telah
layak dianggap gagal, sehingga paradigma baru dalam kerangka hukum inklusif
dengan asumsi dasar non linear dapat membuka dialog dengan pendekatan lain,
pendekatan tersebut memberi kontribusi antara lain menambah referensi hakim
pada sumber-sumber alternatif di luar undang-undang dalam rangka mendekatkan
hukum pada keadilan.
Ketiga, menurut positivisme hukum, nilai-nilai
tidak tidak ada kaitannya dengan objek karena nilai-nilai adalah urusan
moralitas, sementara Positivisme hanya berkaitan dengan materi(objek). Dengan
demikian, pandangan dan metode juristik harus murni dan bebas dari percampuran (sinkretik)
dengan pendekatan-pendekatan teologis, sosiologis, psikologis, dan sebagainya.
Positivisme Hukum menganggap hukum harus netral, bebas nilai,
imparsial/bebas dari kepentingan manusiawi (rule of
law, not rule of man) untuk memberikan jaminan objektivitas
dan kepastian hukum, sehingga masuknya ilmu-ilmu sosial ke wilayah ilmu hukum dianggap
sebagai “bencana”.[9]
Namun, jika Ilmu Hukum didudukan dalam Ilmu-ilmu Praktis maka ia membutuhkan evaluasi
terus-menerus dari kenyataan-kenyataan sosial. Realitas sosial ini adalah realitas
yang kaya dengan nilai-nilai, maka menghindarkan ilmu hukum dari nilai-nilai
adalah “menghianati” posisi ilmu praktis yang diembannya. Karena itu, meskipun
kajian dilakukan terhadap hukum positif, ia tetap memerlukan kerjasama dengan
bidang keilmuan lainya.
[1] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta,
Penerbit Buku Kompas, 2006, hal viii
[2] F. Budi Hardiman,
Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Penerbit
Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal. 204-205.
[3] Robin West, Natural Law
Ambiguities, Connecticut Law Review, Vol 25, hal. 831-841
[4]
Sebagaimana Ungkapan Cicero : Ubi Societas Ibi Ius, Dimana ada masyarakat
disitu ada hukum.
[5]
Philip Selznick, “Sosiology and Natural Law” Paper Natural Law Forum 1961 hlm. 84.
[6] Pound
kemudian mengkonsepkan ”hukum sebagai
alat untuk merekayasa sosial (law as a tool
of social engineering)”
of social engineering)”
[7] Thomas
Halper “ Logic in Judicial Reasoning” Indiana Law Journal: Vol 44.
[8] Lili, Rasjidi dan Ira
Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004, hal. 32.
0 comments: