PEMBATASAN FREKUENSI PELAKSANAN HAJI SATU KALI DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN Abdul Basid Fuadi [ Sekretaris Umum Center for Indonesia Const...

PEMBATASAN FREKUENSI PELAKSANAN HAJI SATU KALI DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN

PEMBATASAN FREKUENSI PELAKSANAN HAJI SATU KALI DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN
Abdul Basid Fuadi
[Sekretaris Umum Center for Indonesia Constitution Analysis (Constan)]

A.   Pendahuluan
Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menegaskan negara mengakui kebebasan beragama setiap individu sesuai keyakinannya masing-masing, penegasan tersebut dimaksudkan untuk mengatur pelaksanaan ibadah tiap-tiap individu agar tercipta keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat. Pemerintah memfasilitasi dan mengakomodirnya dalam implementasi nyata melalui pengaturan yang kompherensif dan sistematis dalam bentuk Undang-undang dan Peraturan-peraturan lainnya, untuk semua agama tak terkecuali agama Islam.
Negara Indonesia adalah negara dengan penduduk terbesar di dunia, dan dalam rangka melayani warga negara dalam menjalankan ibadah, negara menetapkan aturan hukum dalam rangka itu. Salah satunya adalah UU No. 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, pengaturan ini semata-mata dalam rangka maksimalisasi pelayanan kepada warga muslim Indonesia. Sesuai dengan konsideran UU yang bertujuan sebagai upaya penyempurnaan sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji agar pelaksanaan ibadah haji berjalan aman, tertib, dan lancar dengan menjunjung tinggi semangat keadilan, transparansi, dan akuntabilitas publik.[1]
Jamaah Haji Indonesia adalah jemaah haji terbanyak dan terbesar di dunia. Sedangkan quota calon jamaah haji di setiap negara adalah 1: 1000 dari jumlah keseluruhan umat Islam di negara tersebut.[2] Oleh karena itu, kalau penduduk muslim di Indonesia mencapai 211 juta orang, maka jumlah jamaah haji di Indonesia sekitar 211.000 orang. Dengan perincian 194.000 haji reguler dan 17.000 haji khusus. Hal ini bukan berarti bahwa jamaah haji Indonesia yang ingin melaksanakan ibadah haji hanya 211.000. Kalau dibolehkan, mungkin lebih dari 2 juta jamaah yang ingin berangkat haji. Hal ini terbukti dengan dengan daftar tunggu (Waitng List) jamaah haji Indonesia mencapai 3,402,194 juta orang.[3] Dengan waktu tunggu terlama adalah Kabupaten Wajo hingga 2048.
Semantara itu, sebagian jemaah haji asal Indonesia adalah mereka yang melaksanakan haji untuk kedua kali atau seterusnya. Data kementrian agama tahun 2003 menunjukkan sekitar 10 persen jamaah haji adalah jamaah yang melaksanakan haji berulang. Kementrian agama telah mecoba mengurai permasalahan waiting list ini dengan menerapkan aturan pembatasan frekuensi haji dalam rangka mendistribukan kesempatan kepada jamaah baru dan mewujudkan keadilan yang lebih meyeluruh untuk semua pihak.
Tulisan ini akan menjelaskan secara berturut-turut, pertama mengenai pembatasan yang dilakukan pemerintah tersebut menurut nalar hukum (positif) dan syari’at, kedua pembahasan akan diarahkan pada kedudukan hukum haji yang kedua dan seterusnya dalam syari’at dan implikasi sosialnya, dan terakhir penjelasan akan diarahkan untuk menggunakan analisis fiqh awlawiyat untuk menggali dimensi filsafat dalam kerangkan keadilan sosial.
B.   Pembatasan Frekuensi Pelaksanaan Haji Menurut Hukum Indonesia dan rekomendasi MUI sebagai representasi Hukum Islam
Kementerian Agama resmi memberlakukan aturan pembatasan berhaji bagi para jamaah yang sudah pernah menunaikan ibadah ke Tanah Suci. Mereka baru dapat melakukan pendaftaran haji setelah 10 tahun, terhitung sejak menunaikan ibadah haji terakhir.[4] Regulasi tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2015. PMA ini kemudian dituangkan pada Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 28 Tahun 2016 tentang Pedoman Pendaftaran Haji Reguler.
Aturan tersebut mengatur pembatasan pemberangkatan ibadah haji dalam Pasal 3 ayat (4) mengatur bahwa Jamaah haji yang pernah menunaikan ibadah haji dapat melakukan pendaftaran haji setelah 10 (sepuluh) tahun sejak menunaikan ibadah haji yang terakhir.[5] Aturan ini hadir sebagai respon atas terus meningkatnya tren masyarakat yang ingin melaksanakan ibadah haji semakin makin panjangnya daftar tunggu (waiting list). Namun aturan ini bukanlah larangan umat islam menjalankan ibadah menurut keyakinannya, aturan ini semata dalam rangka profesionalitas pelayanan haji oleh pemerintah yang berkeadilan dan membuka kesempatan yang sama bagi semua pihak.
Jauh sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404/Maret 1984 merekomendasikan tentang kewajiban Ibadah Haji. Dengan pertimbangan bahwa umat Islam hendaknya memahami betapa besar dan luas masalah yang dihadapi oleh pemerintah Arab Saudi dan Pemerintah RI dalam usaha melayani dan menyediakan kemudahan bagi kepentingan jamaah haji yang jumlahnya tiap tahun semakin besar yang harus dijalani dalam waktu yang bersamaan dan dalam lingkungan alamiah yang sangat terbatas. MUI menghimbau agar umat islam menghayati bahwa kewajiban ibadah haji hanyalah sekali dan memberikan kesempatan kepada yang belum menunaikan ibadah haji. Rekomendasi ini diikuti dengan saran penggunaan dana untuk haji akan lebih bermanfaat bila dana yang tersedia itu disalurkan untuk amal/jariyah yang dapat dirasakan manfaatnya oleh umum disamping mendapat pahala yang terus mengalir bagi yang melaksanakannya.
C.   Kedudukan Hukum Ibadah Haji Kedua dan Implikasinya.
Ibadah haji adalah merupakan kewajiban berkunjung ke Baitullah dengan amalan dan waktu tertentu bagi setiap muslim yang mampu mengupayakan perjalanan ke Baitullah dan bukan monopoli untuk orang yang kaya saja, walaupun hidup pas-pasan tetapi jika berusaha keras dan merasa terpanggil hatinya untuk dapat beribadah haji, mempunyai hak untuk menunaikan ibadah haji juga. Sebagaimana  Firman Allah dalam Q.S Ali Imran Ayat 97, yang artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam ( QS. Ali Imran 97)”.
Ibadah haji hanya wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang memenuhi persyaratan sekali seumur hidupnya dan haji yang kedua dan seterusnya tidak wajib lagi hukumnya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di hadapan kami dan berkata, “Allah telah mewajibkan haji pada kalian.” Lantas Al Aqro’ bin Habis, ia berkata, “Apakah haji tersebut wajib setiap tahun?” Beliau berkata, “Seandainya kukatakan ya, maka wajib haji (setiap tahun), haji itu cuma wajib sekali, haji yang selebihnya, maka sunnah hukumnya, hukumnya.” (HR. Abu Daud , Ibnu Majah, An Nasai, Ahmad).
Karena haji merupakan ibadah amaliyah, badaniyah dan maliyah, maka pelaksanaannya harus disegerakan, selagi kemampuan badan dan kondisi keuangan masih mampu dan mencukupi maka pelaksanaannya harus diutamakan, sesuai dengan hadist yang artinya: “Bersegeralah menunaikan haji yaitu yang wajib, karena sesungguhnya kalian tidak mengetahui apa yang akan menghadang baginya”.(HR. Ahmad).
Kewajiban haji tersebut hanya berlaku sekali seumur hidup, sedangkan pelaksanaan berikutnya adalah sunnah. Karena kuota haji jumlahnya sangat terbatas maka seharusnya orang yang belum pernah haji harus diutamakan dapat berangkat haji terlebih dahulu, sedangkan yang sudah pernah haji, baru dapat haji kembali manakala daftar tunggu haji sudah habis (tetapi ini tidak mungkin) atau dapat haji lagi manakala bertugas untuk urusan haji, pembimbing haji atau yang ada kaitannya dengan urusan haji atau ada alasan lain yang dibenarkan menurut hukum. Pengutamaan ini berkaitan dengan posisi ibadah wajib yang didahulukan dibanding ibadah sunnah, pemerintah dalam rangka pelayanan yang maksimal bagi warga muslim dapat mengunakan pertimbangan prioritas dalam pembatasan tersebut sesuai prinsip fiqh awlawiyat yang akan dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
D.  Analisis Fiqh Awlawiyat dalam Pembatasan Frekeunsi Haji.
Fiqh al-awlawiyyat sebelumnya diistilahkan dengan fikih hirarki amal didefinisikan sebagai peletakan segala sesuatu dalam keadaan sebenarnya dan pada hirarki hukumnya,apakah hal itu berkenaan dengan peraturan, nilai atau tindakan.[6] Yusuf Qardhawi sebagi penggagas awal konsep fiqh awlawiyat mendefinisikan sebagai meletakkan segala sesuatu sesuai urutannya dengan adil, baik dalam perkara hukum, nilai dan amal. Kemudian mendahulukan yang lebih utama berdasarkan pertimbangan syara’ yang tepat.[7]
Dasar syara’ penerapan atau kebolehan fiqh prioritas adalah surat at-taubah ayat 19-20: Apakah (orang-orang ) yang memberi minum kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram, kalian samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah, dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Hal ini juga terlihat dalam peristiwa tsaqifah bani sa’idah, dimana para sahabat berkumpul untuk memilih kepala negara terlebih dahulu dibanding memakamkan Rasulullah, memilih kepala negara lebih prioritas, karena membiarkan umat islam tanpa kepala negara akan menyebabkan mudharat yang lebih besar.
Dalam realitas yang sekarang, ijtihad dalam melihat realitas perlu untuk dilakukan. Ijtihad pada dasarnya adalah usaha nalar (juhd fikri) untuk mencari solusi dengan suatu hukum yang proporsional. Realitas umat selalu muncul silih berganti, sehingga produk hukum yang dikatakan fiqh sebenarnya adalah ijtihad. Ijtihad yang dilakukan harus diarahkan untuk mengunakan epistemologi ijtihad maslahah, ijtihad model tersebut justru akan lebih memuat nilai-nilai humanis sehingga mampu memecahkan problem-problem yang sedang melanda umat.
Dalam masalah kuota haji dan pembatasan frekuensi haji setidaknya terdapat tiga kaidah fiqh prioritas yang bisa kita terapkan.[8] Pertama, mendahulukan kepentingan sosial atas kepentingan individual. Kedua, mendahulukan kepentingan yang banyak atas kepentingan yang sedikit. Ketiga, hukum-hukum wajib dan fundamental lebih diprioritaskan dari pada hukum-hukum sunnah dan cabang.
E.   Penutup
Pelayanan haji yang dilakukan negara adalah bentuk tanggung jawab dalam rangka menjamin terlaksananya ibadah umat beragama sesuai konstitusi Pasal 28 ayat (2). Dalam rangka memfasilitasi tersebut negara dapat mengeluarkan instrumen hukum yang mengatur pelayanan ibadah tersebut, termasuk mengatur batasan-batasan sepanjang hal demikian diarahkan untuk terwujudnya mashlahah yang lebih umum.
Kedudukan haji kedua dan seterusnya sebagai ibadah nafilah (sunnah) menyebabkan prioritas pelaksanaanya dibawah ibadah yang sifatnya wajib. Analisis fiqh prioritas memperkuat epistemologi ijtahady kearah pemaksimalan mashlahah yang ‘ammah. Pengutamaan calon jema’ah haji yang belum pernah melaksanakan haji adalah bentuk adalah penghormatan terhadap ibadah wajib seorang muslim. Sehingga pembatasan diperlukan agar pemahaman terhadap hukum menjadi lebih humanis dan mewujudkan keadilan universal.



[1] Bagian Menimbang huruf c Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
[2] Cara hitungan kuota haji adalah mengacu kepada Keputusan KTT-OKI tahun 1987 di Amman, Yordania. https://www.merdeka.com/peristiwa/mengapa-indonesia-mendapat-kuota-haji-paling-banyak.html akses 19 September 2017.
[5] Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler
[6] Azman Ismail, “Fiqh Aulawiyyat In Retakaful Between RBC (Risk-Based Capital) Standards And Islamic Institutions” dalam ISRA Islamic Finance Seminar (IIFS), 11 november 2008, hal. 2
[7] Yusuf al-Qardhawi, Fikih Prioritas, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 23
[8] Nasrun Jauhari‚ “Fiqh Prioritas sebagai Instrumen Ijtihad Maqasidi” dalam Antologi Kajian Islam (Surabaya: Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015), hal. 146.


0 comments: