PEMBATASAN FREKUENSI PELAKSANAN HAJI SATU KALI DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN Abdul Basid Fuadi [ Sekretaris Umum Center for Indonesia Const...

PEMBATASAN FREKUENSI PELAKSANAN HAJI SATU KALI DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN
Abdul Basid Fuadi
[Sekretaris Umum Center for Indonesia Constitution Analysis (Constan)]

A.   Pendahuluan
Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menegaskan negara mengakui kebebasan beragama setiap individu sesuai keyakinannya masing-masing, penegasan tersebut dimaksudkan untuk mengatur pelaksanaan ibadah tiap-tiap individu agar tercipta keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat. Pemerintah memfasilitasi dan mengakomodirnya dalam implementasi nyata melalui pengaturan yang kompherensif dan sistematis dalam bentuk Undang-undang dan Peraturan-peraturan lainnya, untuk semua agama tak terkecuali agama Islam.
Negara Indonesia adalah negara dengan penduduk terbesar di dunia, dan dalam rangka melayani warga negara dalam menjalankan ibadah, negara menetapkan aturan hukum dalam rangka itu. Salah satunya adalah UU No. 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, pengaturan ini semata-mata dalam rangka maksimalisasi pelayanan kepada warga muslim Indonesia. Sesuai dengan konsideran UU yang bertujuan sebagai upaya penyempurnaan sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji agar pelaksanaan ibadah haji berjalan aman, tertib, dan lancar dengan menjunjung tinggi semangat keadilan, transparansi, dan akuntabilitas publik.[1]
Jamaah Haji Indonesia adalah jemaah haji terbanyak dan terbesar di dunia. Sedangkan quota calon jamaah haji di setiap negara adalah 1: 1000 dari jumlah keseluruhan umat Islam di negara tersebut.[2] Oleh karena itu, kalau penduduk muslim di Indonesia mencapai 211 juta orang, maka jumlah jamaah haji di Indonesia sekitar 211.000 orang. Dengan perincian 194.000 haji reguler dan 17.000 haji khusus. Hal ini bukan berarti bahwa jamaah haji Indonesia yang ingin melaksanakan ibadah haji hanya 211.000. Kalau dibolehkan, mungkin lebih dari 2 juta jamaah yang ingin berangkat haji. Hal ini terbukti dengan dengan daftar tunggu (Waitng List) jamaah haji Indonesia mencapai 3,402,194 juta orang.[3] Dengan waktu tunggu terlama adalah Kabupaten Wajo hingga 2048.
Semantara itu, sebagian jemaah haji asal Indonesia adalah mereka yang melaksanakan haji untuk kedua kali atau seterusnya. Data kementrian agama tahun 2003 menunjukkan sekitar 10 persen jamaah haji adalah jamaah yang melaksanakan haji berulang. Kementrian agama telah mecoba mengurai permasalahan waiting list ini dengan menerapkan aturan pembatasan frekuensi haji dalam rangka mendistribukan kesempatan kepada jamaah baru dan mewujudkan keadilan yang lebih meyeluruh untuk semua pihak.
Tulisan ini akan menjelaskan secara berturut-turut, pertama mengenai pembatasan yang dilakukan pemerintah tersebut menurut nalar hukum (positif) dan syari’at, kedua pembahasan akan diarahkan pada kedudukan hukum haji yang kedua dan seterusnya dalam syari’at dan implikasi sosialnya, dan terakhir penjelasan akan diarahkan untuk menggunakan analisis fiqh awlawiyat untuk menggali dimensi filsafat dalam kerangkan keadilan sosial.
B.   Pembatasan Frekuensi Pelaksanaan Haji Menurut Hukum Indonesia dan rekomendasi MUI sebagai representasi Hukum Islam
Kementerian Agama resmi memberlakukan aturan pembatasan berhaji bagi para jamaah yang sudah pernah menunaikan ibadah ke Tanah Suci. Mereka baru dapat melakukan pendaftaran haji setelah 10 tahun, terhitung sejak menunaikan ibadah haji terakhir.[4] Regulasi tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2015. PMA ini kemudian dituangkan pada Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 28 Tahun 2016 tentang Pedoman Pendaftaran Haji Reguler.
Aturan tersebut mengatur pembatasan pemberangkatan ibadah haji dalam Pasal 3 ayat (4) mengatur bahwa Jamaah haji yang pernah menunaikan ibadah haji dapat melakukan pendaftaran haji setelah 10 (sepuluh) tahun sejak menunaikan ibadah haji yang terakhir.[5] Aturan ini hadir sebagai respon atas terus meningkatnya tren masyarakat yang ingin melaksanakan ibadah haji semakin makin panjangnya daftar tunggu (waiting list). Namun aturan ini bukanlah larangan umat islam menjalankan ibadah menurut keyakinannya, aturan ini semata dalam rangka profesionalitas pelayanan haji oleh pemerintah yang berkeadilan dan membuka kesempatan yang sama bagi semua pihak.
Jauh sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404/Maret 1984 merekomendasikan tentang kewajiban Ibadah Haji. Dengan pertimbangan bahwa umat Islam hendaknya memahami betapa besar dan luas masalah yang dihadapi oleh pemerintah Arab Saudi dan Pemerintah RI dalam usaha melayani dan menyediakan kemudahan bagi kepentingan jamaah haji yang jumlahnya tiap tahun semakin besar yang harus dijalani dalam waktu yang bersamaan dan dalam lingkungan alamiah yang sangat terbatas. MUI menghimbau agar umat islam menghayati bahwa kewajiban ibadah haji hanyalah sekali dan memberikan kesempatan kepada yang belum menunaikan ibadah haji. Rekomendasi ini diikuti dengan saran penggunaan dana untuk haji akan lebih bermanfaat bila dana yang tersedia itu disalurkan untuk amal/jariyah yang dapat dirasakan manfaatnya oleh umum disamping mendapat pahala yang terus mengalir bagi yang melaksanakannya.
C.   Kedudukan Hukum Ibadah Haji Kedua dan Implikasinya.
Ibadah haji adalah merupakan kewajiban berkunjung ke Baitullah dengan amalan dan waktu tertentu bagi setiap muslim yang mampu mengupayakan perjalanan ke Baitullah dan bukan monopoli untuk orang yang kaya saja, walaupun hidup pas-pasan tetapi jika berusaha keras dan merasa terpanggil hatinya untuk dapat beribadah haji, mempunyai hak untuk menunaikan ibadah haji juga. Sebagaimana  Firman Allah dalam Q.S Ali Imran Ayat 97, yang artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam ( QS. Ali Imran 97)”.
Ibadah haji hanya wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang memenuhi persyaratan sekali seumur hidupnya dan haji yang kedua dan seterusnya tidak wajib lagi hukumnya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di hadapan kami dan berkata, “Allah telah mewajibkan haji pada kalian.” Lantas Al Aqro’ bin Habis, ia berkata, “Apakah haji tersebut wajib setiap tahun?” Beliau berkata, “Seandainya kukatakan ya, maka wajib haji (setiap tahun), haji itu cuma wajib sekali, haji yang selebihnya, maka sunnah hukumnya, hukumnya.” (HR. Abu Daud , Ibnu Majah, An Nasai, Ahmad).
Karena haji merupakan ibadah amaliyah, badaniyah dan maliyah, maka pelaksanaannya harus disegerakan, selagi kemampuan badan dan kondisi keuangan masih mampu dan mencukupi maka pelaksanaannya harus diutamakan, sesuai dengan hadist yang artinya: “Bersegeralah menunaikan haji yaitu yang wajib, karena sesungguhnya kalian tidak mengetahui apa yang akan menghadang baginya”.(HR. Ahmad).
Kewajiban haji tersebut hanya berlaku sekali seumur hidup, sedangkan pelaksanaan berikutnya adalah sunnah. Karena kuota haji jumlahnya sangat terbatas maka seharusnya orang yang belum pernah haji harus diutamakan dapat berangkat haji terlebih dahulu, sedangkan yang sudah pernah haji, baru dapat haji kembali manakala daftar tunggu haji sudah habis (tetapi ini tidak mungkin) atau dapat haji lagi manakala bertugas untuk urusan haji, pembimbing haji atau yang ada kaitannya dengan urusan haji atau ada alasan lain yang dibenarkan menurut hukum. Pengutamaan ini berkaitan dengan posisi ibadah wajib yang didahulukan dibanding ibadah sunnah, pemerintah dalam rangka pelayanan yang maksimal bagi warga muslim dapat mengunakan pertimbangan prioritas dalam pembatasan tersebut sesuai prinsip fiqh awlawiyat yang akan dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
D.  Analisis Fiqh Awlawiyat dalam Pembatasan Frekeunsi Haji.
Fiqh al-awlawiyyat sebelumnya diistilahkan dengan fikih hirarki amal didefinisikan sebagai peletakan segala sesuatu dalam keadaan sebenarnya dan pada hirarki hukumnya,apakah hal itu berkenaan dengan peraturan, nilai atau tindakan.[6] Yusuf Qardhawi sebagi penggagas awal konsep fiqh awlawiyat mendefinisikan sebagai meletakkan segala sesuatu sesuai urutannya dengan adil, baik dalam perkara hukum, nilai dan amal. Kemudian mendahulukan yang lebih utama berdasarkan pertimbangan syara’ yang tepat.[7]
Dasar syara’ penerapan atau kebolehan fiqh prioritas adalah surat at-taubah ayat 19-20: Apakah (orang-orang ) yang memberi minum kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram, kalian samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah, dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Hal ini juga terlihat dalam peristiwa tsaqifah bani sa’idah, dimana para sahabat berkumpul untuk memilih kepala negara terlebih dahulu dibanding memakamkan Rasulullah, memilih kepala negara lebih prioritas, karena membiarkan umat islam tanpa kepala negara akan menyebabkan mudharat yang lebih besar.
Dalam realitas yang sekarang, ijtihad dalam melihat realitas perlu untuk dilakukan. Ijtihad pada dasarnya adalah usaha nalar (juhd fikri) untuk mencari solusi dengan suatu hukum yang proporsional. Realitas umat selalu muncul silih berganti, sehingga produk hukum yang dikatakan fiqh sebenarnya adalah ijtihad. Ijtihad yang dilakukan harus diarahkan untuk mengunakan epistemologi ijtihad maslahah, ijtihad model tersebut justru akan lebih memuat nilai-nilai humanis sehingga mampu memecahkan problem-problem yang sedang melanda umat.
Dalam masalah kuota haji dan pembatasan frekuensi haji setidaknya terdapat tiga kaidah fiqh prioritas yang bisa kita terapkan.[8] Pertama, mendahulukan kepentingan sosial atas kepentingan individual. Kedua, mendahulukan kepentingan yang banyak atas kepentingan yang sedikit. Ketiga, hukum-hukum wajib dan fundamental lebih diprioritaskan dari pada hukum-hukum sunnah dan cabang.
E.   Penutup
Pelayanan haji yang dilakukan negara adalah bentuk tanggung jawab dalam rangka menjamin terlaksananya ibadah umat beragama sesuai konstitusi Pasal 28 ayat (2). Dalam rangka memfasilitasi tersebut negara dapat mengeluarkan instrumen hukum yang mengatur pelayanan ibadah tersebut, termasuk mengatur batasan-batasan sepanjang hal demikian diarahkan untuk terwujudnya mashlahah yang lebih umum.
Kedudukan haji kedua dan seterusnya sebagai ibadah nafilah (sunnah) menyebabkan prioritas pelaksanaanya dibawah ibadah yang sifatnya wajib. Analisis fiqh prioritas memperkuat epistemologi ijtahady kearah pemaksimalan mashlahah yang ‘ammah. Pengutamaan calon jema’ah haji yang belum pernah melaksanakan haji adalah bentuk adalah penghormatan terhadap ibadah wajib seorang muslim. Sehingga pembatasan diperlukan agar pemahaman terhadap hukum menjadi lebih humanis dan mewujudkan keadilan universal.



[1] Bagian Menimbang huruf c Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
[2] Cara hitungan kuota haji adalah mengacu kepada Keputusan KTT-OKI tahun 1987 di Amman, Yordania. https://www.merdeka.com/peristiwa/mengapa-indonesia-mendapat-kuota-haji-paling-banyak.html akses 19 September 2017.
[5] Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler
[6] Azman Ismail, “Fiqh Aulawiyyat In Retakaful Between RBC (Risk-Based Capital) Standards And Islamic Institutions” dalam ISRA Islamic Finance Seminar (IIFS), 11 november 2008, hal. 2
[7] Yusuf al-Qardhawi, Fikih Prioritas, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 23
[8] Nasrun Jauhari‚ “Fiqh Prioritas sebagai Instrumen Ijtihad Maqasidi” dalam Antologi Kajian Islam (Surabaya: Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015), hal. 146.


Menyoal Sudut Pandang: Usaha Pembebasan dari Kekacauan Pendekatan Liniaritas (Aliran Positivistik) dalam Kajian Ilmu Hukum. Abdul Basid F...

Menyoal Sudut Pandang: Usaha Pembebasan dari Kekacauan Pendekatan Liniaritas (Aliran Positivistik) dalam Kajian Ilmu Hukum.
Abdul Basid Fuadi
[Sekretaris Umum Center for Indonesia Constitution Analysis (Constan)]

Studi hukum di Indonesia bisa diibaratkan seperti penari randai, terlihat bergerak tetapi sesungguhnya berjalan ditempat. Hal ini disebabkan oleh dominannya paradigma positivis dalam kajian terhadap hukum di Indonesia. Dalam paradigma positivis, para pelaku hukum menempatkan diri mereka dengan cara berpikir dan pemahaman hukum secara legalistik berbasis peraturan (rule bound) yang memisahkan antara Das Sollen dengan Das Sein sehingga tidak akan mampu menangkap kebenaran yang hakiki.
Dalam paradigma ilmu hukum yang legalistis positivistis, hukum sebagai suatu struktur pranata yang sangat kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik dan deterministik. Hal ini utamaya disebabkan karena teleskop yang digunakan untuk melihat hukum murni dari peraturan perundang-undangan. Tidak ada hukum melainkan bersumber dari undang-undang, sehingga hukum bebas dari anasir-nasir moral (non yuridis) dalam masyarakat.
Pengaruh warisan sistem Eropa Kontinental telah menyebabkan hukum Indonesia tumbuh dan berkembang dalam alam positivisme. Positivisme yang membuat norma selalu mengkristal di ranah Das Sollen tidak dapat menyesuaikan Das Sein yang selalu mengikuti dinamika perubahan sosial kemasayarakatan. Maka, semakin kita mempelajari keteraturan (hukum), justru kita semakin menemukan ketidakteraturan (teaching order finding disorder).[1] Maka kita perlu mencari, merumuskan, mengkonsepkan sesuatu yang lebih cair, atau sesuatu yang dapat mencairkan kebekuan dalam kajian-kajian ilmu hukum.
Gambaran corak hukum yang berlaku di Indonesia sangat dipengaruhi karakteristik positivisme hukum yang dianggap sebagai corak hukum modren, sehingga hukum Indonesia tidak lagi menyatu dengan masyarakatnya. Hukum tidak lagi menjadi insitusi yang utuh, yang sesekali ketidakutuhan itu dibuktikan oleh ketidakpuasan terhadap cara hukum menyelasaikan persoalan. Rujukan positivisme menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai sesuatu yang memuat hukum secara lengkap sehingga tugas hakim tinggal menerapkan ketentuan undang-undang secara mekanis dan linear untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat, sesuai bunyi undang-undang.
Paradigma yang dikembangkan para Kelsenian, yang menghendaki hukum bebas dari anasir-anasir non hukum dengan doktrin “The pure theory of law” nyata-nyata telah mengalienasi hukum dari masyarakatnya. Purifikasi yang digaungkan sesungguhnya adalah pereduksian ilmu hukum  menjadi hanya mempelajari “command of lawgivers”. Akibatnya, penegakan hukum mengalami kesulitan untuk melakukan terobosan hukum, terkerangkeng pada dogmatika, prosedur dan formalisme. Ilmu hukum kemudian memaksakan untuk bekerja sendiri, menutup pintu dari disiplin ilmu lain, menyebabkan semakin menyempitnya ruang kajian ilmu hukum, bahkan stagnasi (tidak berkembangnya) ilmu hukum itu sendiri.
Jika ditelusuri pada asalnya, Positivisme adalah teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang teramati. Sehingga, ”positif” sama dengan ”faktual”, atau apa yang berdasarkan fakta-fakta. Positivisme hendak menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta.[2] Sebagai suatu paradigma, filsafat positivisme sebenarnya meminjam pandangan, metode, dan teknik Ilmu Alam dalam memahami realitas (saintisme). Hal demikian dimaksudkan untuk membebaskan ilmu pengetahuan (termasuk ilmu sosial) dari kepentingan subyektif demi tercapainya obyektifitas dan kepastian yang terukur.
Secara epistemologis, mazhab positivisme hukum lahir sebagai kritik terhadap mazhab hukum alam (hukum kodrat). Mazhab  positivisme hukum menolak mazhab hukum kodrat yang terlampau idealistik. Hukum Kodrat dengan segala variannya yang menempatkan ontologi hukum pada tataran yang sangat abstrak, ditolak karena dinilai tidak konkrit. Kelemahan Hukum Kodrat adalah gagal mengembangkan suatu metode untuk  menetapkan apa yang menjadi kodrat manusia dan apa ciri-ciri hakikinya. Setiap filosof mempunyai pandangan sendiri tentang moral, keadilan, dan sebagainya. Sehingga, menurut kritik Positivisme Hukum, paham Hukum Kodrat bersifat ambigu dan gagal memberikan kepastian hukum yang obyektif.[3] Namun sayangnya, klaim aliran positivistik yang menganggap positivisme hukum sebagai aliran paling akhir dan paling mutlak dari ilmu hukum, mengantarkan meraka pada ketertutupan terhadap kritk dari luar, yang makin menjauhkan mereka dari epistemologi filsafat kritis semula.
Kritik terhadap positivisme hukum itu sudah banyak dimulai, F. Carl Von Savigny dengan Mazhab sejarah hukum menyerang mazhab Positivisme Hukum dengan mengatakan bahwa hukum bukan hanya yang dikeluarkan oleh penguasa dalam bentuk undang-undang namun hukum adalah jiwa bangsa (volkgeist) dan substansinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat.[4]
mazhab Sociological Jurisprudence mencoba mengambil ”jalan tengah” dengan mensintesakan basis argumentasi yang berkembang pada kedua mazhab itu. Eugen
Ehrlich menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat (the centre of gravity of legal developoment is not in legislation, nor in juristic, nor in judicial decision, but in society).[5] Rumusan tersebut menunjukan kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum dengan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum.[6]
Berikutnya yang menunjukan sikap penolakan terhadap asumsi-asumsi dasar Positivisme Hukum adalah Realisme Hukum (legal realism). Kendati mazhab Realisme Hukum ini menekankan hukum pada hal-hal praktis dibandingkan teoritik, namun mazhab ini mempunyai pandangan-pandangan konseptual yang mengkritik basis argumentasi Positivisme Hukum. Ungkapan terkenal tokoh mazhab Realisme Hukum, Oliver Wendell Holmes,”...the life of the law has not been logic. It has been experience”.[7] Ajaran Hukum Bebas (Freirechtslehre) memperkuat sentimen ini dengan menyatakan ”logika hukum” (legal logic) tidak memadai untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang bisa dipraktikkan (practicable). Hakim menurut Hukum Bebas, tidak hanya sering terpaksa melampaui hukum undang-undang, melainkan juga harus melampauinya.[8]
Dari kritik-kritik tersebut setidaknya kita mampu mengkonsepsikan kekurangan-kekurangan mazhab positivisme hukum, Pertama, Ilmu hukum bercorak dogmatis yang berpegang teguh pada sistem hukum positif memerlukan kepastian agar suatu aturan dapat ditegakkan segera setelah norma hukum tersebut dinyatakan berlaku. Permasalahannya, seringkali terjadi ketegangan antara kepastian dan keadilan, aliran yang mengunggulkan
kepastian menghendaki penafsiran tidak keluar dari lingkaran teks hukum. Metode-metode penafsiran yang diciptakan dan kemudian diterima adalah penafsiran gramatikal, otentik, dan sistematis. Sedangkan, yang mengutamakan keadilan, apabila dihadapkan dengan teks hukum yang tidak adil, ia akan berusaha menafsirkan hukum untuk memberikan keadilan. Berhenti pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan bisa menimbulkan kekeliruan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu menjadi terlupakan. Disinilah peran hukum inklusif dengan asumsi dasar berpikir non liner mampu menjawab keadaan tersebut, pemaknaan terhadap kaidah yang sarat nilai mutlak diperlukan dalam upaya mendekatkan hukum pada keadilan. Konstektualisasi tersebut hanya dapat dilakukan jika hukum mampu menerima pandangan-pandangan diluar dirinya yang bersifat non linear.
Kedua, terjadi reduksi terhadap objek telaah ilmu hukum dogmatis hanya berupa norma-norma positif dalam sistem hukum positif, yang lebih khusus lagi adalah sistem perundang-undangan. Reduksi ini mengandung bahaya karena jika dibalik, maka pemahaman terhadap bagian-bagian kecil itu tidak serta merta menghasilkan pemahaman yang utuh tentang hukum. Jika disadari lebih jauh, cara pandang yang linier dan mekanis ini memiskinkan ’daya nalar’ ilmuwan hukum di Indonesia. memasungkan paradigma praktik hukum kepada satu pendekatan aliran pemikiran tertentu, tidak sejalan dengan sifat hukum sebagai ilmu praktis, normologis, otoritatif. Dominasi paradigma Positivisme Hukum seperti asas-asas dan logika-logika yang dipraktikan selama ini telah layak dianggap gagal, sehingga paradigma baru dalam kerangka hukum inklusif dengan asumsi dasar non linear dapat membuka dialog dengan pendekatan lain, pendekatan tersebut memberi kontribusi antara lain menambah referensi hakim pada sumber-sumber alternatif di luar undang-undang dalam rangka mendekatkan hukum pada keadilan.
Ketiga, menurut positivisme hukum, nilai-nilai tidak tidak ada kaitannya dengan objek karena nilai-nilai adalah urusan moralitas, sementara Positivisme hanya berkaitan dengan materi(objek). Dengan demikian, pandangan dan metode juristik harus murni dan bebas dari percampuran (sinkretik) dengan pendekatan-pendekatan teologis, sosiologis, psikologis, dan sebagainya. Positivisme Hukum menganggap hukum harus netral, bebas nilai, imparsial/bebas dari kepentingan manusiawi (rule of law, not rule of man) untuk memberikan jaminan objektivitas dan kepastian hukum, sehingga masuknya ilmu-ilmu sosial ke wilayah ilmu hukum dianggap sebagai “bencana”.[9] Namun, jika Ilmu Hukum didudukan dalam Ilmu-ilmu Praktis maka ia membutuhkan evaluasi terus-menerus dari kenyataan-kenyataan sosial. Realitas sosial ini adalah realitas yang kaya dengan nilai-nilai, maka menghindarkan ilmu hukum dari nilai-nilai adalah “menghianati” posisi ilmu praktis yang diembannya. Karena itu, meskipun kajian dilakukan terhadap hukum positif, ia tetap memerlukan kerjasama dengan bidang keilmuan lainya.






[1] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2006, hal viii
[2] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal. 204-205.
[3] Robin West, Natural Law Ambiguities, Connecticut Law Review, Vol 25, hal. 831-841
[4] Sebagaimana Ungkapan Cicero : Ubi Societas Ibi Ius, Dimana ada masyarakat disitu ada hukum.
[5] Philip Selznick, “Sosiology and Natural Law” Paper Natural Law Forum 1961 hlm. 84.
[6] Pound kemudian mengkonsepkan  ”hukum sebagai alat untuk merekayasa sosial (law as a tool
of social engineering)”
[7] Thomas Halper “ Logic in Judicial Reasoning” Indiana  Law Journal: Vol 44.
[8] Lili, Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, hal. 32.
[9] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Penerbit Kencana, 2005.






Konstitusionalisme  (Materi Pengantar Follow Up Angkatan 8 Komunitas Pemerhati Konstitusi) Oleh: Abdul Basid Fuadi Sesungguhnya kon...

Konstitusionalisme
 (Materi Pengantar Follow Up Angkatan 8 Komunitas Pemerhati Konstitusi)
Oleh: Abdul Basid Fuadi

Sesungguhnya konstitusionalisme adalah suatu paham yang sudah sangat tua, yang hadir sebelum lahirnya gagasan tentang konstitusi. Terbukti konstitusionalisme sudah menjadi anutan semenjak pemerintahan polis -negara kota jaman Yunani Kuno. Politeia merupakan embrio awal gagasan konstitusionalisme. Namun demikian, belum tegasnya pemisahan antara negara dan masyarakat dalam model pemerintahan negara kota Athena, yang berarti warganegara sekaligus pula menjadi pelaku-pelaku kekuasaan politik yang memegang peran dalam fungsi legislative dan pengadilan, telah mengakibatkan abu-abunya paham konstitusionalisme Yunani Kuno. Keharusan untuk berpartisipasi langsung dalam proses bernegara, mengakibatkan perihal yang sifatnya publik dan yang privat berjalan berkelindan.
Kekaburan antara negara dan masyarakat dalam demokrasi murni memicu tidak simpatinya Plato dan Aristoteles terhadap demokrasi. Menurut Aristoteles, suatu negara yang menerapkan demokrasi murni, dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan suara terbanyak, dan kekuasaan menggantikan hukum, telah berpotensi melahirkan para pemimpin penghasut rakyat, yang menyebabkan demokrasi tergelincir menjadi despotisme.
Berangkat dari kritik Aristoteles itulah, pada masa Romawi Kuno, lahir gagasan tentang arti penting sebuah konstitusi. Konstitusi diharapkan dapat mencerminkan dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan dari semua golongan politik menjadi suatu harapan. Pada periode Romawi Kuno konstitusi mulai dipahami sebagai suatu kekuatan di atas negara, konstitusi dimaknai sebagai suatu aturan yang menjadi pedoman bagi bangunan kenegaraan, yang hendak didirikan berdasar pada prinsip the higher law—konstitusi.
Sejarah kekhalifahan Islam juga dapat dirujuk dalam pembahasan konstitusionalisme sebagaimana terungkap dalam Piagam Madinah. Menurut Jimly, piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern adalah Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad saw dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yasrib -nama kota Madinah sebelumnya, pada tahun 622M.
Sederhananya konstitusionalisme dihadirkan dengan tujuan untuk menjaga berjalannya pemerintahan secara tertib. Hal ini seperti diutarakan Walton H. Hamilton, bahwa constitutionalism is the name given to the trust which men respose in the power of words engrossed on parchment to keep a government in order. Senada dengan adagium Lord Acton, powers tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely -manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula-. Karena itu kekuasaan harus dibatasi oleh konstitusi—the limited state.
Meskipun telah tua usianya, akan tetapi konstitusionalisme masih menjadi satu paham yang paling efektif untuk mengelola kekuasaan pada masa modern saat ini. Seperti dikatakan pemikir politik kontemporer Gabriel A. Almond, yang menyatakan bahwa bentuk pemerintahan terbaik yang bisa diwujudkan adalah pemerintahan campuran atau pemerintahan konstitusional, yang membatasi kebebasan dengan aturan hukum dan juga membatasi kedaulatan rakyat dengan institusi-institusi negara yang menghasilkan ketertiban dan stabilitas.
Dalam konsepnya yang lebih kongkrit, ‘kontrak sosial’ adalah suatu proses perjanjian dan kesepakatan yang melahirkan apa yang disebut ‘konstitusi’. Adapun yang disebut ‘konstitusi’ dalam konsepnya “yang modern” ini ialah tatanan yang menjadi bangunan dasar suatu organisasi negara, yang berfungsi sebagai rujukan normatif –yang akan memberikan dasar pembenar, baik secara moral maupun secara legal kepada— segala aktivitas para pejabat pengemban kekuasaan negara. Suatu konstitusi menetapkan batas-batas kewenangan setiap institusi dan mengatur hubungan kewenangan antara lembaga-lembaga negara, seperti antara lain antara badan legislatif, badan eksekutif dan badan yudisial.
Batas-batas kewenangan yang dinyatakan secara normatif dalam dan oleh konstitusi itu sesungguhnya tak hanya dimaksudkan untuk menyeimbangkan besaran kekuasaan masing-masing lembaga negara terhadap sesamanya, akan tetapi juga untuk menegaskan batas-batas kewenangan lembaga-lembaga negara tersebut di hadapan hak kebebasan warganegara. Demikianlah ajarannya, bahwa apabila lembaga-lembaga negara itu – baik terhadap sesamanya maupun di hadapan hak warganegara – pada asasnya terbatas, sedangkan hak-hak konstitusional warganegara (yang dinalar sebagai bagian dari hak kodrati) pada asasnya tidak terbatas. Pembatasan, apabila diperlukan hanya bisa dilakukan berdasarkan kesepakatan para warganegara sendiri, lewat suatu proses ysng mestilah dilaksanakan dalam suasana yang bebas. Inilah asas atau ajaran atau paham ideologik yang disebut konstitusionalisme.
Demikian itulah nalar paham konstitusionalisme dalam kajian hukum positif, bahwa sekalipun menurut kodrat alaminya setiap individu manusia itu dilahirkan sebagai makhluk yang berkebebasan penuh (on nee libre, kata Rousseau) tetapi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu manusia itu terikat di mana-mana (mais ils sont dans suffrage partout, kata Rousseau pula), dengan catatan bahwa keterikatan itu datangnya dari manusia yang menurut kodratnya pula bisa berkehendak bebas itu. Dari rasionalitas seperti ini, dapatlah dinyatakan bahwa kebebasan manusia, juga untuk mengikatkan diri, itulah yang menentukan besar-kecilnya keterikatannya itu. Dengan perkataan lain, keterikatan itulah yang merupakan fungsi kebebasan, dan bukan sebaliknya.





CRITICAL BOOK REVIEW Filsafat dan Syariat Pandangan Ibnu Rushd Diajukan Guna Memenuhi Tugas dalam Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pengampu:...

CRITICAL BOOK REVIEW

Filsafat dan Syariat Pandangan Ibnu Rushd

Diajukan Guna Memenuhi Tugas dalam Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Pengampu: Bapak Saifuddin, S.HI, MA.

A.   Pendahuluan

Berfikir, merupakan salah satu aspek yang penting didalam menemukan ilmu pengetahuan. Berfikir adalah berfilsafat, berfikir juga menunjukkkan bahwa kita 'ada'. Didalam Islam sendiri, banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berfikir. Berfilsafat adalah bagian dari kehidupan manusia, disetiap peradaban yang dikenal dunia pasti memiliki filsafatnya masing-masing. Begitupun juga dalam islam, pada waktu dulu di dunia Islam banyak para filosof yang mempergunakan akalnya dengan kerangka berfikir filsafat ini, sehingga bisa menghasilkan berbagai karya hebat didalam ilmu pengetahuan.
Meskipun demikian, banyak juga pemikir islam yang berpendapat bahwa filsafat adalah sesuatu yang terpisah dari syariat. Bahkan pemikiran inipun juga melanda masyarakat dan umat islam, terbukti dengan maraknya dikotomi ilmu agama (syariat) dan ilmu umum dalam hal ini filsafat. Dalam kondisi masyarakat yang seperti itulah Ibnu Rusyd menulis buku yang berusaha mengharmonisikan antara syariat dengan hikmah (filsafat) dengan judul Fasl al Maqal wa Taqrir ma bainal Shariaty wal Hikmati min al Ittisal yang diterjemahkan George F. Hourani dengan judul Averroes On The Harmony of Religion and Philosophy.
Tulisan sederhana ini bertujuan untuk mereview pemikiran Ibnu Rushd mengenai implikasi dari apa yang dia sebut Risk Society terhadap pemetaan dan masa depan ilmu politik dan pemerintahan serta sedikit memberi ‘catatan’ terhadap pemikirannya.

B.   Pokok-Pokok Pemikiran

Dalam tulisannya yang diterjemahkan George F. Hourani dengan judul Averroes On The Harmony of Religion and Philosophy khususnya pada bab1 , Ibnu Rushd menjelaskan pandangannnya mengenai wajibnya mempelajari filsafat dalam islam dan menjelaskan penolakan terhadap pemikiran Ghazali yang mengaharamkan filsafat.
Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib.[1] Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan, maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya.
Menurut pemikiran Ibnu Rusyd tidak mungkin seseorang yang berfilsafat akan meragukan kebenaran atau keberadaan Tuhan. Jika hal itu terjadi adalah karena dalam mencapai kebenaran setidaknya manusia mempunyai 3 dasar penilaian, yaitu : (1) Lewat metode al- Khatabiyyah (Retorika) (2) lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika) (3)Lewat metode al-Burhaniyyah (demonstratif).[2]
Pertama, Metode Retorika digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil, yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi)
Kedua, Metode Dialektika dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik.
Ketiga, Metode Demonstratif dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Ta’wil yang dilakukan dengan metode Burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran.
Masih menurut Ibnu Rusyd, pemahaman terbaik terhadap agama harus dilakukan dengan cara terbaik pula yaitu metode demonstratif. Bahkan untuk mengetahui pemahaman tentang syariat seorang mujtahid harus terlebih dahulu memahami logika, sama seperti seorang ahli hukum harus memehami pertimbangan hukum.
Pendekatan demonstratif diyakini Ibn rusyd bisa mendamaikan antara bunyi literal teks yang transenden dengan pemikiran spekulatif – rasionalistik manusia. Al-Qur’an kadang berdiam diri tentang suatu obyek pengetahuan. Lantas ulama melakukan Metode (syar’iy) untuk menjelaskan kedudukan obyek pemikiran yang maskut ‘anhu tersebut. Demikian pula dengan nalar Burhani, ia merpakan metode ta’wil / metode untuk membincangkan persoalan-persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh al qur’an.
Ibn Rusyd beranggapan bahwa teks syar’iy memiliki keterbatasan makna. Oleh karena itu jika terjadi ta’arudl dengan metode burhani, maka harus dilakukan ta’wil atas makna lahiriyyah teks. Ta’wil sendiri didefinisikan sebagai: makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa arab dalam membuat majaz. Misalnya dengan menyebutkan “sesuatu” dengan sebutan “tertentu lainnya” karena adanya faktor kemiripan , menjadi sebab / akibatnya, menjadi bandingannya atau faktor-faktor lain yang mungkin bisa dikenakan terhadap obyek yang awal.
Ibnu Rusyd dalam tulisannya juga mampu menunjukkan bahwa dalam al-Qur'an ada dalil-dali yang menjelaskan tentang filsafat, diakhir tulisannya Ibnu Rusyd mengutip Al-Qur'an surat An-Nahl ayat 125 "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."

C.   Analisa dan Kritik

Walaupun disebut sebagai pandangan yang klasik, namun bagaimanapun juga relasi filsafat dan agama masih menjadi hal yang patut dipikirkan hingga saat ini. Apalagi jika kita memahami kondisi masyarakat sekarang ini, ada yang sangat kuat memahami superioritas agama yang sering disebut radikalisme, bahkan yang menjauhkan diri sama sekali dari agama yang dipahami sebagai sekulerisme.
 Lahirnya filsafat di Dunia Islam memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu kalam yang mendahuluinya. Sebelumnya, para mutakallimin memang telah menggunakan mantiq (logika) dalam tradisi kalam mereka, baik untuk membantah maupun menyusun argumentasi.
Agar memperoleh kebenaran dari hasil pemikiran, Ibn Rusyd mensyaratkan kebenaran harus diperoleh melalui metode aqly. Ada tiga jenis metode aqly yang disampaikan Ibn Rusyd yaitu metode khitabi (penalaran retoris), metode jadali (penalaran dialektika), dan metode burhani (penalaran demonstratif). Menurut Ibn Rusyd, cara yang terbaik untuk melakukannya adalah dengan metode penalaran demonstratif. Melalui penalaran demonstratif ini, hal yang tidak nampak menjadi nampak. Ketika orang awam dan para mutakalimin hanya melihat makna yang tampak dari wahyu, para filosof mampu mengungkap makna yang tak tampak dengan penalaran demonstratif ini.
Ibn Rusyd menolak jika dikatakan qiyas aqly ini bid’ah, sebab qiyas fiqhy sendiri tidak dikenal pada masa awal Islam. Karena itu menurut Ibn Rusyd, menggunakan qiyas aqly dalam filsafat sama saja seperti ahli fiqih yang harus menggunakan qiyas fiqhy dalam masalah hukum. Melarang filsafat dengan alasan berbahaya bagi aqidah adalah tindakan yang tidak tepat. Bahaya filsafat sama saja dengan bahaya makan obat, meminum air atau belajar fiqih yang kadang-kadang salah sehingga akibat berbahaya. Dari sisi ini, Ibn Rusyd menekankan bahwa setiap muslim memiliki kapasitas yang berbeda dalam penalaran. Hanya sedikit orang yang mampu melakukan penalaran demonstratif, yaitu orang-orang yang terpelajar. Mayoritas pula yang tidak sanggup sehingga cukup dengan penalaran dialektis atau retoris saja.
Anggapan Ibn Rusyd bahwa qiyas fiqhy tidak dikenal pada masa awal Islam sebenarnya tidak tepat. Memang qiyas fiqhy baru dirumuskan ketika jaman Imam Syafi'i, namun qiyas sebenarnya sudah dicontohkan sejak jaman awal Islam. Rasulullah telah mencontohkan penggunaan qiyas kepada para sahabat. Ada banyak contoh untuk masalah ini.
 Suatu ketika Nabi saw pernah ditanya seorang, "Ya Rasulullah, ibuku sudah meninggal dalam kondisi memiliki hutang puasa. Bolehkan aku berpuasa untuknya?" Beliau berkata, "Bagaimana jika ibumu memiliki hutang, apakah engkau akan membayarkannya?! Bayarkanlah (hutang tersebut) sebab Allah lebih berhak untuk dibayar." (HR Muslim).
 Pada hadits ini menurut al-Beirawi, nabi mencontohkan bagaimana mengambil analogi antara hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Keduanya memiliki ‘illah yang sama yaitu keberadaan hutang haruslah dibayar.[3]
Salah satu yang pokok dalam kitab Fashlul maqal-nya Ibnu Rusyd adalah adalah upaya Ibn Rusyd mendamaikan kontradiksi antara filsafat dan wahyu. Menurut Ibn Rusyd, tidak ada pertentangan antara hasil penalaran demonstratif dengan wahyu. Kalau pun ada pertentangan, maka yang bertentangan sebenarnya adalah makna yang tampak dari wahyu. Karena itu, wahyu harus dianggap disampaikan dalam bentuk majazi sehingga harus dita’wilkan dari makna aslinya.
Terhadap metode penalaran demonstratif ini perlu diajukan pertanyaan kritis kepada Ibnu Rusyd. Pertama, apakah penalaran demonstratif itu benar-benar menghasilkan kepastian sehingga bila antara produk penalarannya dan wahyu ada pertentangan maka wahyu-lah yang harus mengalah untuk dita’wilkan? Pertanyaan berikutnya bila sebenarnya hasil penalaran demonstratif itu sendiri sebenarnya masih spekulatif, tepatkah menjadikannya sebagai sandaran bagi pena’wilan Alquran?
Pada kitab Mukaddimah, Ibn Khaldun membahas secara khusus permasalahan filsafat ini dalam satu bab yang berjudul “Membantah Filsafat dan Kesesatan Orang yang Menekuninya”. Menurut Ibn Khaldun, mencukupkan diri membahas realitas hanya dengan penalaran saja sebenarnya merupakan pembatasan ciptaan Allah. Ibn Khaldun menambahkan bahwa realitas lebih luas jangkauannya dari pembatasan-pembatasan tersebut.[4]

D.   Penutup

Ibnu Rusyd adalah seorang pemikir yang berupaya melakukan berbagai usaha pembelaanya terhadap  filsafat dengan menyatakan bahwa antara filsafat dan syariat tidaklah bertentangan. Terhadap filsafat Aristoteles, ia berupaya untuk memberikan pemahaman yang lebih obyektif terhadap filsafat Aristoteles, karena jika dipahami lebih lanjut, filsafat Aristoteles tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Didalam melihat pemikiran seseorang jangan sampai kita langsung menghakimi bahwa pemikiran itu salah atau benar. Tetapi di usahakan ditelaah dan di cermati terlebih dahulu, mungkin saja disana ada kebaikan atau pintu ilmu pengetahuan yang akan tersibak.
Seperti yang kita ketahui bahwa pemikiran Ibnu Rusyd menurut sebagian orang  pada waktu itu di anggap sesat dan kafir, padahal dalam sebagian pemikirannya bisa kita temukan jalan menuju ilmu pengetahuan.
pandangan Ibnu Rusyd yang menonjol adalah teorinya tentang harmoni (perpaduan) agama dan filsafat (al-ittishâl baina al-syarî`ah wa al-hikmah). Ibn Rushd memberikan kesimpulan bahwa “filsafat adalah saudara sekandung dan sesusuan agama”. Dengan kata lain, tak ada pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat dan agama; para nabi dan Aristoteles, karena mereka semua datang dari asal yang sama. Ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan karakter filsafat sebagai ilmu yang dapat mengantarkan manusia kepada “pengetahuan yang lebih sempurna” (at-tâmm al-ma`rifah).  Dan gagasan ini dapat menjadi khazanah pemikiran filsafat islam yang lebih ramah terhadap pertentangan syariat dan filsafat.



DAFTAR PUSTAKA



Hourani, George F., Averroes On The Harmony of Religion and Philosophy, London : MESSRS. LUZAC & CO, 1967
al-Beirawi, Abu Ismael, Understanding Usul Al-Fiqh, New Delhi: Revival Publications, 2007
Khaldun, Ibn, Muqaddimah, terj. Masturi irham et.al, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2011



[1] George F. Hourani, Averroes On The Harmony of Religion and Philosophy (London : MESSRS. LUZAC & CO.) hlm 4.
[2] George F. Hourani, Averroes On The Harmony of Religion and Philosophy (London : MESSRS. LUZAC & CO.) hlm 4.
[3] Abu Ismael al-Beirawi, Understanding Usul Al-Fiqh, (New Delhi: Revival Publications, 2007) hlm 87
[4] Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Masturi irham et.al, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2011) hlm 959.


Putusan Sela dalam Peradilan Pidana Penegakan hukum pidana pada dasarnya adalah menerapkan norma hukum pidana (materil) menurut cara-ca...

Putusan Sela dalam Peradilan Pidana

Penegakan hukum pidana pada dasarnya adalah menerapkan norma hukum pidana (materil) menurut cara-cara yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan (formil) terhadap suatu kejadian nyata yang diperbuat subyek hukum yang memnuhi syarat sebagai suatu tindak pidana. Maka setidaknya ada 3 komponen dalam penegakan hukum pidana, yaitu:
1.    Ada peraturan yang mengatur (melarang) suatu perbuatan tertentu.
2.    Adanya peristiwa konkret perbuatan yang mengandung suatu larangan tersebut.
3.    Ada aturan yang menentukan cara menerapkan larangan tersebut.
Dari konstruksi demikian, terdapat dua pihak yang menerapkan atau menegakkan hukum pidana, yaitu negara dan pelaku sehingga dapat pula dilihat dua aspek dalm menerapkan aturan mengenai larangan tersebut: 1) aspek apa saja yang boleh dan harus dilakukan negara, dan 2) aspek apa saja yang boleh dan harus dilakukan oleh pelaku. Terhadap hal-hal yang boleh dan harus dilakukan oleh kedua belah pihak dalam menegakkan hukum pidana dilakukan di dalam persidangan/peradilan. Peradilan diselenggarakan untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hasil akhir dari proses peradilan adalah putusan pengadilan atau putusan hakim.
Putusan hakim menurut Sudikno Mertokusomo adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat  negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dalam persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak.  Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana memberikan pegertian putusan sebagai putusan pengadilan yang merupakan perrnyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka, yang dapat berupa pemidaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Selain diucapkan dalam persidangan, putusan juga dibuat dalam bentuk tertulis, sejalan dengan SEMA No. 5 Tahun 1959 dan SEMA No. 1 Tahun 1962, konspe putusan harus sudah ada pada saat putusan diucapkan, untuk mencegah adanya perbedaan antara putusan yang diucapkan dan yang tertulis.
Dalam Hukum Acara Pidana dikenal dua jenis putusan:
1.    Jenis putusan yang bersifat formil, yang bukan merupakan putusan akhir.
2.    Jenis putusan yang bersifat materiil, yaitu yang merupakan putusan akhir (eind vonis).
Dalam pembahasan kali ini akan difokuskan pada jenis ptusan yang pertama, yang sering juga disebut sebagi putusan sela. Jenis putusan kedua akan dijelaskan dalam pembahasan yang lain, semoga Allah masih meberikan kesempatan pada penulis untuk menuliskannya.
Bahwa putusan sela (interim meascure) adalah merupakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum memeriksa pokok perkara baik perkara pidana maupun perkara perdata. Dalam hal ini penulis membatasi diri terhadap putusan sela dalam perkara pidana. Dalam Praktik pemeriksaan perkara pidana, putusan sela biasanya dijatuhkan karena adanya eksepsi dari terdakwa atau Penasihat Hukumnya. Eksepsi penasihat hukum inilah yang memegang peranan penting dalam dijatuhkannya putusan sela oleh hakim.
Dalam sidang perdana, setelah hakim ketua membuka persidangan yang terbuka untuk umum, hakim ketua sidang akan menanyakan identititas terdakwa, dan mengingatkan untuk memperhatikan setiap hal dalam persidangan. Kemudian penuntut umum akan diminta membacakan dakwaan, setalah dakwaan didengar oleh hakim, kepada terdakwa dan penasihat hukumnya diberikan hak untuk emngajukan keberatan atau eksepsi.
Eksepsi adalah suatu keberatan terdakwa terhadap suatu dakwaan yang berisi tentang ketidaksesuaian format surat dakwaan sebagaimana disyaratkan, bukan tidak benarnya terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan. Disini letak perbedaan yang nyata antara eksepsi dengan pembelaan (pledoi), karena pledoi pada dasarnya adalah pembelaan diri yang isinya tidak melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan alasan-alasan hukumnya.
Terhadap eksepsi yang disampaikan terdakwa maupun penasihat hukumnya, hakim memberikan putusan selan yang dapat berupa:
1.    Putusan yang berisi pernyataan tentang tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara (onbevoegde verklaring). Sesuai dengan pasal 148 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut umum untuk selanjutnya dilimpahkan kepada pengadilan negeri di wilayah yang berhak untuk mengadilinya.
2.    Putusan yang menyatakan bahwa surat dakwaan penuntut umum batal (nietig verklaring van de acte van verwijzing), misalnya dalam hal surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan mengenai surat dakwaan yang terdapat di dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana, maka sesuai dengan ketentuan dalam pasal 143 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana surat dakwaan tersebut batal demi hukum.
3.    Putusan yang berisi pernyataan bahwa surat dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima (niet ontvelijk verklaard), misalnya karena perkara yang diajukan oleh penuntut umum sudah daluarsa, nebis in idem, perkara memerlukan syarat aduan (klacht delict).
4.    Putusan yang berisi penundaan pemeriksaan perkara oleh karena ada perselisihan prejedusiel (perselisihan kewenangan), karena di dalam perkara yang bersangkutan diperlakukan untuk menunggu suatu putusan hakim perdata.
5.    Putusan yang menyatakan bahwa keberatan dari terdakwa atau penasihat hukumnya tidak dapat diterima atau hakim berpendapat bahwa hal tersebut baru diputus setelah selesai pemeriksaan perkara a quo, maka dakwaan penuntut umum dinyatakan sah dan persidangan dapat dilanjutkan untuk pemeriksaan materi pokok perkara, sesuai degan ketentuan dalam Pasal 156 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Eksepsi hanya di tujukan pada hal-hal yang berkaitan dengan prosedur yang tidak tepat/cermat (inproper) atau tidak sah (illegal). Putusan sela merupakan salah satu alat kontrol terhadap kinerja Jaksa / Penuntut Umum, yang mana dimaksudkan agar mereka tidak gegabah dalam membuat surat dakwaan, dalam mengajukan suatu tuntutan datau dalam melakukan suatu penyidikan.